Selasa, 05 Mei 2009

ASPIRASI PEMERINTAHAN KONSTITUSIONAL DIINDONESIA STUDI SOSIO-LEGAL ATAS KONSTITUANTE 1956-1959

ASPIRASI PEMERINTAHAN KONSTITUSIONAL DI INDONESIA
STUDI SOSIO-LEGAL ATAS KONSTITUANTE 1956-1959
A. Langkah-Langkah menuju Pemerintahan Konstitusional
Buku ini merupakan hasil studi disertasi dari Adnan Buyung Nasution mengenai Konstituante Indonesia yang bersidang sejak tanggal 10 November 1956 sampai 2 Juni 1959 untuk menyusun undang-undang dasar yang definitive bagi negara Republik Indonesia, namun seperti yang kita ketahui bahwa setelah bersidang hampir selama 3 tahun dan juga tugasnya belum selesai, Konstituante ini dibubarkan oleh Presiden Soekarno dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. Pemikiran dasar mengenai pembentukan Konstituante ini adalah untuk menyusun UUD yang menjamin kebebasan politik dalam kerangka negara konstitusional setelah Indonesia mencapai kemerdekaan politik dari penjajah asing. Seluruh usaha yang dilakukan Konstituante adalah merupakan wujud lain dari kehendak untuk mencapai kemerdekaan, yaitu untuk memperoleh kebebasan ke dalam, yaitu kebebasan politik bagi warga negara Indonesia di dalam negara yang mereka miliki. Diharapkan undang-undang dasar yang akan dihasilkan Konstituante dapat menjamin kebebasan politik dengan pembentukan negara konstitusional.
Konstituante merupakan suatu badan pembuat undang-undang dasar yang dipilih oleh rakyat atau dengan kata lain Konstituante adalah (Sidang Pembuat Undang-Undang Dasar) bersama-sama dengan pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Konstituante ini merupakan suatu hasil pemilihan umum rakyat Indonesia pada tanggal 15 Desember 1955 setelah sebelumnya pada tanggal 29 September 1955 rakyat Indonesia juga telah melaksanakan pemilihan umum yang bertujuan untuk membentuk badan perwakilan. Pemilu yang dilaksanakan untuk pembentukan Konstituante ini menunjukan partisipasi yang tinggi dari rakyat Indonesia dalam menggunakan hak pilihnya, yaitu hampir 90 % dari seluruh pemilih yang terdaftar memberikan suaranya untuk pemilu ini. Tingkat partisipasi yang tinggi dari rakyat Indonesia pada saat itu disebabkan antara lain tekanan-tekanan sosial di kalangan rakyat dan rasa tanggung jawab terhadap masyarakat. Sebagai hasil pemilu dan merupakan perwujudan dari wakil-wakil rakyat dalam penyusunan suatu undang-undang dasar, maka bisa dikatakan bahwa Konstituante merupakan salah satu perwujudan dari aspirasi seluruh rakyat dalam usahanya membentuk suatu negara yang konstitusional secara bebas sebagai perwujudan kebebasan politiknya. Langkah – langkah yang dilakukan guna perwujudan suatu pemerintahan konstitusional pada saat awal kemerdekaan Negara Indonesia telah dilakukan oleh para pemimpin bangsa pada saat itu, yaitu
1. Memperluas partisipasi politik
pada saat itu Sjahrir sebagai pemimpin gerakan bawah tanah menganggap bahwa pemerintah Indonesia yang masih muda masih tercemar oleh fasisme Jepang, oleh karena itu ia menuntut untuk mendirikan pemerintahan yang demokratis, dengan melibatkan rakyat banyak dalam lingkungan pemerintahan, yaitu dengan membangun dewan-dewan perwakilan rakyat dari desa hingga ke puncak pemerintahan; negara Republik Indonesia harus dijadikan alat perjuangan demokratis, yaitu dengan membentuk undang-undang dasardemorasi yang tulen yang menerapkan sebagai pokok segala susunan negara adalah hak-hak pokok rakyat, yaitu kemerdekaan berpikir, berbicara, turut membentukdan menentukan susunan dan urusan negara,hak memilih dan dipilih untuk segala badan yang mengurus negara;
2. Memberi kekuasaan legislatif kepada wakil-wakil rakyat
langkah penting yang diambil menuju demokrasi adalah dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden No.X yang memutuskan bahwa Komite Nasional Pusat, sebelum terbentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan garis-garis besar daripada haluan negara.
3. Menolak pemerintahan otoriter
yaitu seruan Sjahrir supaya kebebasan dan demokrasi dijadikan isi perjuangan nasional Indonesia menuju kemerdekaan dengan penolakan terhadap pemerintahan yang otoriter sebagai pengaruh dari penjajahan Jepang atas pendidikan dan propagandanya, yang mungkin tertanam dalam jiwa rakyat dan para pemimpin nasional
4. Tekad untuk memelihara kemerdekaan ke luar
dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 membuat kesadaran bangsa Indonesia memuncak menjadi kemauan yang bulat untuk mewujudkan kedaulatannya dengan mempertahankan kemerdekaan yang telah diprolamasikan itu dari negara-negara penjajah yang ingin menguasai kembali negara Indonesia
5. Tekad untuk menjamin kebebasan ke dalam
yaitu memberikan kepada rakyat Indonesia untuk menyatakan pikirannya secara merdeka, merdeka memilih keyakinan agamanya, bebas dari sewenang-wenang, bebas dari kekurangan, yang akan diwujudkan dengan pelaksanaan pemilu yang hasilnya akan terwujud suatu pemerintah dan undang-undang dasar yang sesuai dengan kehendak rakyat banyak.
6. Tekad untuk menjamin asas-asas universal pemerintahan yang baik
dengan adanya pengakuan kemerdekaan negara Indonesia di dunia internasional, maka Indonesia akan mengambil alih semua tugas yang sesuai dengan statusnya sebagai negara yang merdeka
7. Membentuk sistem multipartai
langkah untuk menegakkan demokrasi dilakukan oleh pemerintah dengan mengeluarkan maklumat wakil presiden Yang ditandatangani Hatta dengan menyerukan pembentukan partai-partai politik yang akan menghapuskan negara yang berpartai tunggal
8. Menetapkan pertanggungjawaban pemerintah kepada wakil rakyat
langkah selanjutnya adalah pembentukan kabinet parlementer, yaitu bahwa menteri-menteri bertanggung jawab kepada Komite Nasional Indonesia Pusat sebagai perwujudan dari wakil rakyat
9. Pengakuan terhadap asas pemilihan bebas
pemerintah juga mengumukan bahwa penyelenggaraan pemilu akan dapat memilih wakil-wakil rakyat secara bebas yang akan dapat mengambil bagiam dalam menjalankan politik pemerintahan dan dalam menentukan garis-garis besar kebijakan
Suatu negara yang konstitusional adalah suatu negara yang penguasanya perlu dibatasi yaitu dengan hukum[1], sehingga kekuasaannya harus diperinci secara tegas dan jelas, oleh karena itu suatu konstitusionalisme (negara dengan konstitusioanal) mendahului dari konstitusi itu sendiri. Menurut Sri Soemantri bahwa pengertian konstitusionalisme berasal dari konstitusi yang berarti suatu kerangka dari suatu masyarakat politik. Konstitusionalisme sebagai suatu paham bisa dikatakan sebagai hal ihwal konstitusi. Oleh karena setiap negara mempunyai konstitusi dan UUD , maka negara dan konstitusi merupakan dua institusi yang tidak dapat dipatahkan satu sama lain.
Sedangkan dalam konteks mengenai pembentukan konstitusi suatu negara ada beberapa bentuk yang yang dapat dibedakan sesuai dengan bentuk negara tersebut, yaitu[2] :
1. Spontaneous State, Konstitusinya disebut Revolutionary Constitustion
Dalam hal ini pengertiannya adalah negara yang timbul atau terbentuk akibat dari suatu revolusi, oleh karena konstitusi yang dihasilkan bersifat revolusioner, misalnya Konstitusi Amerika dan Konstitusi Perancis
2. Negotiated State, Konstitusinya disebut Parlementarian Constitution
ialah negara yang berdasarkan pada kebenaran relative, dan bukan berdasarkan absolute waarheid. Konstitusi dengan bentuk ini duhasilkan dari suatu negosiasi dari pihak-pihak pembentuk konstitusi tersebut, masing-masing pihak dalam pembuatan konstitusi ini ingin memperoleh keuntungan sebanyak mungkin an tidak lagi mencari kebenaran. Adanya parlemen yang tercermin dalam konstitusi negara yang bersangkutan merupakan cirri negotiated state. Oleh karena itu konstitusinya disebut parlementarian constitution.
3. Derivative State, Konstitusinya disebut Neo National Constitution
adalah negara yang konstitusinya mengambil pengalaman dari negara-negara yang sudah ada (neo-national).Dalam negara semacam ini nasionalisme berdasarkan pada kolonialisme, yaitu nasionalisme yang timbul karena penjajahan. Oleh karena itu konstitusinya harus disesuaikan juga dengan kondisi dan keadaan negara tersebut dan tidak semata-mata meniru dari negara bekas penjajahnya. Indonesia dalam hal ini merupakan negara yang menggunakan konstitusi dengan model seperti ini.
Indonesia sebagai negara yang baru merdeka dari penjajahan bangsa asing juga menggunakan Konstitusi sebagai dasar negara dalam menjalankan roda pemerintahan yang terbentuk pada saat itu setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945 UUD untuk pertama kalinya dijadikan dasar negara Indonesia adalah sebagai hasil dari Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekeaan yang terbentuk pada saat Indonesia masih dibawah kekuasaan Jepang. Oleh karena itu pembentukan dan pengesahan Undang Undang Dasar 1945 sebagai Undang Undang Dasar Negara Indonesia dianggap sah karena Undang Undang Dasar ini merupakan hasil dari sebuah revolusi bangsa Indonesia terhadap penjajahan bangsa asing, dan keadaaan pada saat itu memang belum memungkinkan pembentukan Undang Undang dasar yang sesuai dengan aspirasi rakyat Indonesia secara keseluruhan. Walaupun Undang Undang Dasar tersebut hanya dibuat oleh para tokoh bangsa yang tergabung dalam Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), tetapi bisa dikatakan juga bahwa tokoh-tokoh itu juga mewakili berbagai elemen yang ada di masyarakat Indonesia pada saat itu, karena mereka mewakili sebagian golongan-golongan dan etnis yang ada di Indonesia.
Oleh karena itu sebagai suatu keinginan bersama dari masyarakat, maka konstitusi disusun oleh masyarakat secara bersama-sama baik secara langsung atau melalui perwakilan-perwakilan, dan yang akan membawa aspirasi dari masyarakat yang diwakilinya. Sehingga apabila hal ini dihubungkan dengan pembentukan Undang Undang Dasar 1945, maka hal ini juga bisa dikatakan bahwa “the founding fathers” yang tergabung dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) merupakan perwakilan dari keinginan masyarakat Indonesia pada saat itu yang masih dalam penjajahan Jepang dan BPUPK ini bisa dikatakan juga sebagai lembaga yang sah pada saat itu untuk membuat sebuah konstitusi atau undang-undang dasar.
Tetapi Presiden Soekarno pada saat itu juga menyadari bahwa, walaupun UUD 1945 disusun oleh para tokoh bangsa pada saat itu yang terdiri dari berbagai perwakilan dan golongan yang tergabung dalam BPUPK, UUD 1945 tersebut disusun secara darurat dan merupakan pokok-pokoknya saja, sehingga beliau juga mengatakan bahwa UUD 1945 tersebut merupakan UUD yang sifatnya sementara. Oleh karena itu untuk bangsa Indonesia yang baru saja merdeka masih membutuhkan Undang Undang Dasar yang sifatnya tetap, yang disusun oleh segenap aspirasi rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum yaitu suatu badan pembuat undang-undang dasar yang dikenal dengan nama Konstituante. Badan inilah yang diharapkan dapat mencipta sebuah undang-undang dasar atau konstitusi sesuai dengan kondisi sosial bangsa Indonesia pada saat itu. Dalam Konstituante yang terbentuk tersebut, banyak sekali perdebatan diantara wakil-wakil rakyat yang merupakan wakil dari partai-partai politik yang ada pada saat itu, yaitu tentang materi yang akan terkandung dalam undang-undang dasar yang ingin disusun. Perdebatan yang alot dan yang pada akhirnya menemui jalan buntu untuk masalah dasar negara dan terjadinya pergolakan politik diluar Konstituante, itulah yang mendasar keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang mengakhiri riwayat Konstituante, yang dianggap gagal dalam menjalankan tugasnya, dan pemerintah selanjutnya memberlakukan kembali UUD1945 sebagai Undang Undang Dasar Negara Indonesia. Karena UUD 1945 itulah yang dianggap paling sesuai untuk bangsa Indonesia pada saat itu.
Dari perspektif lain dalam pembentukan konstitusi suatu negara ada lima macam bentuk konstitusi seperti yang dikutip oleh Dahlan Thaib dkk dari pendapat Djokosutono dalam bukunya Hukum Tata Negara, yaitu
- Konstitusi dibuat oleh raja
- Konstitusi dibuat bersama-sama raja dan rakyat
- Konstitusi dibuat oleh rakyat seluruhnya
- Konstitusi dibuat oleh badan konstituante
- Konstitusi dibuat oleh pemerintah diktator
Dari aspek hukum, maka konstitusi mempunyai derajat tertinggi (supremasi), dasarnya adalah karena[3]
1. Konstitusi dibuat oleh badan pembuat undang-undang atau lembaga-lembaga
2. Konstitusi dibentuk atas nama rakyat, berasal dari rakyat, kekuatan berlakunya dijamin oleh rakyat, dan ia harus dilaksanakan langsung kepada masyarakat untuk kepentingan mereka
3. dilihat dari sudut hukum yang lebih sempit yaitu bahwa konstitusi ditetapkan oleh lembaga atau badan yang diakui keabsahannya

B. Pemilihan Umum dan Pembentukan Konstituante
Dalam sejarah konstitusi Indonesia Soekarno-lah yang pertama kali menekankan pentingnya sebuah konstitusi disusun oleh badan yang sah yang terdiri atas wakil-wakil rakyat, oleh karena itu pemerintah mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden No. X pada tanggal 16 Oktober 1945 yang menjadi dasar pelaksanaan pemilihan umum bagi suatu pemerintahan yang konstitusional. Maklumat ini merupakan maklumat wakil presiden Republik Indonesia yang pada saat itu memegang tampuk kekuasaan yang terpadu dan berwenang untuk menetapkan garis-garis besar haluan negara, untuk merancang dan mensahkan undang-undang, dan menjalankan pemerintahan tanpa campur tangan dari pihak lain. Dengan dikeluarkannya maklumat ini maka tugas dan wewenang pembuatan undang dan garis garis besar haluan negara (kekuasaan legislatif) yang sebelumnya hanya berada di tangan pemerintah, beralih ke Komite Nasional Pusat sampai terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, dimana pekerjaan sehari-hari komite ini dilaksanakan oleh Badan Pekerja. Setelah mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden No. X tersebut, kemudian Pemerintah mengeluarkan Maklumat Pemerintah pada tanggal 3 November 1945 yang isinya agar rakyat membentuk partai-partai politik untuk dapat memilih wakil-wakilnya yang akan duduk dalam badan-badan perwakilan rakyat. Pada awalnya pemilu yang pertama akan diselenggarakan pada bulan Januari 1946 oleh Kabinet Sjahrir sesuai dengan pengumuman pemerintah tangal 3 November 1945 tersebut, tetapi terpaksa tertunda beberapa kali dikarenakan kekacauan akibat revolusi fisik yang terjadi pada kurun waktu tersebut. Pada saat Kabinet Hatta (1949-1950) juga akan diselenggarakan pemilihan umum untuk membentuk Konstituante dan badan perwakilan, yang diharapkan Konstituante yang akan terbentuk akan dapat menentukan bentuk negara menjadi suatu negara federasi atau negara kesatuan. Tetapi rencana inipun tidak terlaksana karena terjadinya perkembangan-perkembangan yang ada yang mengarah pada pembentukan suatu negara kesatuan.
Akhirnya suatu pemilihan umum yang pertama dapat dilaksanakan pada saat Kabinet Burhanuddin, pemilihan umum untuk membentuk badan perwakilan dilaksanakan pada tanggal 29 September1955 dan pemilihan umum untuk membentuk Konstituante dilaksanakan pada tanggal 15 Desember 1955. Dasar yang digunakan dalam pelaksanaan pemilihan umum ini yaitu Undang-undang pemilu tahun 1953 (UU No. 7 tahun 1953) yang disahkan pada tanggal 1 April 1953, yang rancangannya disusun sejak periode Kabinet Wilopo (1952-1953). Pendaftaran pemilih dimulai sejak bulan Mei 1954 dan selesai sampai dengan bulan November 1954, dan tercatat sebanyak 43.104.464 rakyat Indonesia yang mempunyai hak pilih.
Aspek-aspek yang bisa dilihat dengan pelaksanaan pemilihan umum ini adalah adanya aspek positif dan aspek negatif yang ditimbulkan dari pelaksanaan pemilihan umum tersebut. Aspek positifnya yaitu partisipasi yang tinggi dari rakyat dalam pemilihan umum (91,54 % untuk pemilihan badan perwakilan dan 90 % untuk pemilihan konstituante) dan juga motivasi dari pemilih yaitu karena faktor tekanan-tekanan sosial di kalangan rakyat dan rasa tanggung jawab terhadap masyarakat. Sedangkan aspek negatif yang timbul yaitu berkaitan dengan lama dan intensitas kampanye besar-besaran yang mulai pada bulan pertama tahun 1953 dan hampir berlangsung selama 3 tahun sampai dengan saat pemilihan umum akan dilakukan. Kampanye yang lama dan intensitas yang tinggi ini menimbulkan polarisasi ideologi yang ada dalam masyarakat yang akhirnya terbentuk 3 kelompok yang masing-masing mendukung falsafah negara tertentu, yaitu
a. Blok Pancasila, yang menganggap bahwa kelima sila – Ketuhanan, Perikemanusian, Nasionalisme, Demokrasi, dan Keadilan Sosial – merupakan dasar negara
b. Blok Islam , yang mengajukan Islam sebagai dasar negara
c. Blok Sosial Ekonomi yang mengajukan ekonomi sosialis dan demokrasi sesuai dengan pasal 33 dan pasal 1 UUD 1945 sebagai dasar negara
Pemilihan Umum untuk memilih anggota badan perwakilan dan konstituante tersebut diikuti oleh 34 partai politik yang terdiri dari 4 (empat) partai politik besar, seperti PNI ( Partai Nasional Indonesia). Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), NU (Nahdlatul Ulama) dan PKI (Partai Kominis Indonesia) dan partai-partai politik yang kecil.
Seperti telah diuraikan didepan bahwa Konstituante yang merupakan hasil pemilihan umum pada Tahun 1955 telah menghasilkan perwakilan-perwakilan dari seluruh rakyat Indonesia. Konstituante yang terbentuk ini dilantik pada tanggal 10 November 1956 dan merupakan satu-satunya badan yang berwenang menyusun Undang-Undang Dasar. Anggota Konstituante terdiri dari wakil partai-partai politik yang terpilih dari hasil pemilu sebanyak 514 orang ditambah 30 orang yang mewakili golongan minoritas ( 12 orang wakil keturunan cina, 12 orang wakil golongan Indo-Eropa, dan 6 orang mewakili wilayah yang masih diduduki Belanda yaitu Irian Barat)
C. Struktur Organisasi Konstituante
Dalam UUD Sementara 1950 tidak diatur mengenai struktur organisasi Konstituante, tetapi dalam pasal 136 UUDS 1950 tersebut menetapkan bahwa semua pasal dalam UUD 1950 tentang DPR dapat diterapkan pada Kontituante. Oleh karena itu sesuai prinsip kedaulatan rakyat, Konstituante bebas untuk menetapkan dan untuk menentukan struktur organisasi, kepemimpinan, aparat serta Peraturan Tata Tertib Konstituante (PTTK). Dalam penyusunan Peraturan Tata Tertib Konstituante (PTTK), organ-organ yang terbentuk dalam Konstituante yaitu
Sidang Pleno
merupakan badan tertinggi Konstituante yang membuat keputusan mengenai rancangan undang-undnag dasar dan hal-hal yang berkaitan dengannya, diadakan sekurang-kurangnya dua kali dalam satu tahun, dan diadakan secara terbuka untuk umum, kecuali ketua menganggap perlu dialkukan secara tertutup dan keputusannya diambil secara terbuka.
Pemimpin, yakni ketua dan wakil-wakil ketua
Konstituante dipimpin oleh seorang ketua dan lima orang wakil ketua yang dipilih dari anggota Konstituante dalam rapat terbuka dan para pemimpin tersebut disahkan oleh Presiden. Susunan pemimpin Konstituante yang terpilih pada saat itu adalah sebagai berikut : Wilopo (PNI) dipilih sebagai ketua, sedang wakil wakilnya yaitu Prawoto Mangkusasmito (Masyumi), Fatchurahman Kafrawi (NU), Leimena (Parkindo), Sakirman (PKI) dan Hidajat Ratu Aminah (IPKI)
Panitia Persiapan Konstitusi
Panitia ini merupakan salah satu organ penting dalam Konstituante yaitu mewakili semua golongan dan aliran pemikiran yang terdapat di dalam Konstituante. Sidang panitia ini ditutup untuk umum, tetapi terbuka bagi anggota Konstituante yang bukan anggota panitia itu sendiri. Pekerjaan dari Panitia Persiapan Konstitusi dilaporkan kepada sidang pleno.
Komisi-komisi Konstitusi
Dalam menjalankan tugasnya Panita Persiapan Konstitusi diberi wewenang untuk membentuk komisi-komisi konstitusi dengan tugas-tugas tertentu dan disahkan oleh sidang pleno Konstitusi.Setiap komisi sekurang-kurangnya terdiri atas tujuh orang anggota yang mewakili berbagai aliran golongan atau pemikiran.
Panitia Musyawarah
Panitia musyawarah terdiri atas ketua Konstituante (sebagai anggota sekaligus ketua panitia), wakil-wakil ketua Konstituante dan antara 13 hingga 17 anggota Konstituante lainnya yang mewakili berbagai golongan dan aliran serta diangkat oleh Panitia Persiapan Konstitusi.
Panitia-panitia lain (pasal 40 (2) PTTK)
Selama sidang-sidang pleno Konstituante beberapa panitia terbentuk untuk membuat kesimpulan dari pembahasan dari masalah tertentu, menyusun konsep bagi keputusan yang akan diambil, dan juga merumuskan pembagian fungsi badan-badan Konstituante. Panitia tambahan yang terbentuk itu antara lain panitia perumus, panitia redaksi, dan panitia istilah
Sekretariat.
Panitia Rumah Tangga
D. Rangkuman Perdebatan yang Terjadi pada Sidang Konstituante
Konstituante sebagai hasil pemilu merupakan perwakilan dari rakyat Indonesia dari berbagai macam partai politik dan aliran pemikiran yang ada dan tumbuh dalam masyarakat. Oleh karena itu dalam setiap pembicaraan dan pembahasan materi yang akan dimuat dalam rancangan undang-undang dasar yang akan menjadi tugasnya, seringkali dan bahkan selalu terjadi perdebatan yang sengit diantara wakil-wakil rakyat tersebut. Hal tersebut memang yang diharapkan dalam pembentukan suatu undang-undang dasar bagi negara Indonesia yang hasilnya nanti benar-benar merupakan aspirasi dari rakyat Indonesia yang telah merdeka dan untuk menentukan masa depan negara Indonesia.
Perdebatan penting yang menjadi perhatian, terutama adalah perdebatan mengenai Dasar Negara (1957), perdebatan mengenai hak-hak asasi manusia (1958) dan perdebatan mengenai pemberlakuan kembali UUD 1945 (1959). Perdebatan-perdebatan ini dianggap penting dan perlu mendapat perhatian terutama dalam perspektif pembentukan suatu pemerintahan yang konstitusional, yaitu perdebatan mengenai dasar negara dan hak-hak asasi manusia.
Perdebatan tentang Dasar Negara secara formal menyangkut Pancasila, Islam dan Sosial Ekonomi sebagai dasar negara. Perdebatan tentang hal ini sifatnya abstrak dan jauh dari masalah praktis yang diperlukan untuk menciptakan kerangka pengaturan negara. Perdebatan ini menunjukkan betapa tekanan ideologi atau fiksasi atas tujuan-tujuan substantif (cita-cita kesempurnaan masyarakat) telah mengorbankan nilai-nilai prosedural, yakni etika cara mencapai tujuan. Padahal justru tentang cara mencapai tujuan-lah yang menjadi ciri (karekteristik) negara konstitusional yang berdasarkan pada pengakuan HAM dan kontrol terhadap penggunaan kekuasaan. Dalam perdebatan tentang dasar negara dikemukakan dua konsep negara, yaitu negara integralistik yang memakai legitimasi kebudayaan Indonesia dan Pancasila sebagai ideologi, serta negara berdasarkan Islam, dalam sejumlah aspek yang penting kedua konsep tersebut bertentangan dengan negara konstitusional, yaitu bahwa kedua konsep itu menolak suatu pembedaan antara negara dan masyarakat, padahal tanpa pembedaan tersebut, kontrol dan pembatasan kekuasaan oleh rakyat menjadi tidak berarti. Padahal kontrol dan pembatasan kekuasaan oleh rakyat tersebut ditambah dengan pengakuan HAM adalah ciri khas suatu negara konstitusional. Kondisi yang terjadi pada saat itu bahwa pendukung negara konstitusional (baik golongan nasionalis maupun Islam) juga adalah sekaligus menginginkan suatu negara integralistik atau negara Islam, hal ini menunjukkan suatu inkonsistensi dalam wawasan yang disebabkan karena kelemahan konseptual, yaitu konsep tentang makna negara konstitusional. Perdebatan tentang dasar negara diatas segala-galanya adalah suatu konfrontasi antar ideologi, antara pandangan hidup yang berbeda, yang bagi penganutnya masing-masing hal ini merupakan suatu kebenaran mutlak, sehingga perdebatan yang dilakukan hanya mampu lebih meyakinkan diri sendiri dan golongan yang sepaham, tetapi menjadikan kesepakatan yang semakin menjauh dari pihak lawan, yang akibatnya akan menimbulkan perdebatan yang antagonis, dan kompromi yang diharapkan akan dapat dicapai menjadi sesuatu kemustahilan; pada akhirnya hal ini akan mengakibatkan polarisasi dan rasa permusuhan satu sama lain.
Perdebatan kedua yaitu perdebatan tentang HAM, merupakan perdebatan yang bersifat konkrit dan terarah pada perlindungan nilai-nilai kemanusian yang mudah dilanggar, perlindungan terhadap hak-hak orang lemah dan juga pencegahan terhadap penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah dan golongan kuat dalam masyarakat. Dalam perdebatan di Konstituante juga terdapat sejumlah perbedaan pendapat yang berkaitan dengan : kebebasan beragama khususnya kebebasan berpindah agama dan peraturan agama mengenai perkawinan, tentang kemungkinan penyalahgunaan hak-hak asasi oleh modal raksasa dan orang kaya. Tetapi perbedaan dalam perdebatan Konstituante ini tidak mengurangi arti kesepakatan fundamental tentang makna penting dari jaminan terhadap hak-hak asasi dalam konstitusi. Dalam sidang plenonya Konstituante menyimpulkan bahwa bab tentang HAM merupakan salah satu bab terpenting dari UUD yang baru, karena pemerintahan konstitusional yang diinginkan rakyat Indonesia adalah pemerintahan yang dibatasi oleh hukum dan HAM.
Sedangkan perdebatan mengenai pemberlakuan kembali UUD 1945 pada sidang pleno Konstituante adalah perdebatan yang sangat penting, karena didalamnya para anggota dengan jelas menyuarakan kekhawatiran mereka mengenai kemungkinan kesewenang-wenangan atau penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah otokratik dan otoriter serta cara-cara untuk mencegah terjadinya kemungkinan tersebut. Perdebatan mengenai pemberlakuan UUD 1945 ini diawali pada saat Presiden Soekarno berpidato dihadapan para anggota Konstituante pada tanggal 22 April 1959 yang secara emosional mendesak supaya Konstituante menerima dan mendukung UUD 1945 tanpa amandemen sebagai Undang Undang Dasar Republik Indonesia. Alasan yang dikemukakan Presiden Soekarno atas hal ini yaitu pertama bahwa dengan keadaan negara yang genting, UUD 1945 merupakan salah satu cara untuk mengatasi krisis; kedua makna simbolik UUD 1945 yang sangat besar yaitu bahwa UUD 1945 berakar pada kebudayaan Indonesia dan merupakan perwujudan ideologi Indonesia yang sesungguhnya, karena undang-undang tersebut sanggup menyatukan rakyat Indonesia; alasan ketiga adalah bahwa sruktur organisasi negara seperti yang tercantum dalam UUD 1945 akan memperlancar jalannya pemerintahan yang efektif; sedangkan alasan yang keempat adalah pembenaran hukum untuk kembali kepada UUD 1945 sudah sesuai dengan hukum yang berlaku dan dengan cara-cara yang benar menurut hukum.
E. Kondisi Politik dan Pemerintahan yang Terjadi di luar Konstituante
Hal-hal lain menjadi perhatian pada saat Konstituante melakukan persidangan adalah situasi yang terjadi diluar sidang Konstituante, hal ini perlu mendapat perhatian karena proses kegagalan sidang Konstituante selain karena menemui jalan buntu dalam perdebatan, juga kondisi diluar konstituante juga mempengaruhi keberhasilan Konstituante. Pada saat Konstituante terbentuk, Undang–Undang Dasar yang digunakan pada saat itu adalah UUD Sementara Tahun 1950, dan sistem pemerintahan menggunakan sistem parlementer. Dalam sistem ini keberadaan kabinet tergantung dukungan dari parlemen. Sehingga kalau ada partai politik yang mempunyai anggota di kabinet menarik anggotanya dari kabinet, kabinet akan jatuh dan Presiden akan menunjuk pimpinan partai besar untuk menjadi formatur agar membentuk kabinet yang baru. Selama kurun waktu berlakunya UUD Sementara tahun 1950 yaitu dari tahun 1950 – 1959 kondisi pemerintahan dan politik yang terjadi cepat sekali berubah. Dalam Pemerintahan saja kabinet yang terbentuk atau yang menjalankan pemerintahan dalam kurun waktu tersebut terjadi pergantian kabinet selama 7 (tujuh) kali, dengan rincian sebagai berikut :
- Kabinet Moh. Natsir ( 6 September 1950 – 21 Maret 1951 )
- Kabinet Sukiman (27 April 1951 – 3 April 1953 )
- Kabinet Wilopo ( 3 April 1952 – 30 Juli 1953 )
- Kabinet Ali-Wongso-Arifin (30 Juli 1953 – 12 Agustus 1955)
- Kabinet Burhanuddin Harahap ( 12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956 )
- Kabinet Ali-Roem-Idham (24 Maret 1956 – 14 Maret 1957 )
- Kabinet Djuanda ( 9 April 1957 – 10 Juli 1959 )
Dalam sistem pemerintahan yang parlementer ini Presiden tidak mempunyai kekuasaan yang riil, melainkan kekuasaan nominal saja yaitu kedudukannya hanya sebagai Kepala Negara saja. Dalam hal ini Presiden soekarno pada saat itu menganggap seorang presiden hanya sebagai Presiden stempel saja. Kekuasaan yang sebenarnya berada pada Kabinet yang dikuasai oleh wakil-wakil dari partai politik, oleh karena itu Presiden dalam hal ini adalah sebagai Kepala Negara saja.
Pada awalnya keadaan politik seperti ini, yaitu dengan membentuk suatu Konstituante yang bertujuan untuk membuat konstitusi yang sesuai dengan aspirasi rakyat sangat didukung oleh para pemimpin pemerintahan pada saat itu, yaitu dukungan dari Presiden Soekarno yang mengharapkan dengan terbentuknya Konstituante ini akan dapat menciptakan UUD yang menggantikan UUD yang ada pada saat itu yaitu UUDS 1950 dan menyebutkan bahwa UUD yang telah dibuat sejak awal kemerdekaan negara Indonesia yaitu mulai UUD 1945 merupakan suatu UUD yang sifatnya sementara, karena hanya dibuat oleh para ahli hukum atas permintaan pemerintah dan bukan merupakan aspirasi dari seluruh rakyat Indonesia yang telah merdeka dari penjajahan bangsa asing. Tetapi pada waktu kurun tiga tahun, saat mulai terbentuknya Konstituante (1956) sampai tahun 1959 badan tersebut belum juga dapat menghasilkan konstitusi yang menjadi harapan bersama. Banyak hal yang menjadi pertanyaan, mengapa Konstituante tidak segera menyelesaikan tugasnya, tetapi pada akhirnya malahan menyetujui pidato Presiden Soekarno tanggal 22 April 1959 dengan menetapkan kembali UUD 1945 sebagai Undang-Undang dasar yang tetap.
Kondisi politik dan pemerintahan yang terjadi diluar Konstituante yang mempengaruhi terhadap sidang-sidang Konstitusi pada tahun 1956 sampai dengan 1959 antara lain :
1. Kemerosotan ekonomi yang sangat cepat
2. Perpecahan bangsa yang semakin meruncing
3. Bangkitnya Angkatan Darat sebagai kekuatan organisasi utama dalam negara
4. Timbulnya Demokrasi Terpimpin sebagai rumusan politik yang mengganti cita-cita negara Konstitusional
Kondisi kemerosotan ekonomi yang sangat cepat dan perpecahan bangsa telah menciptakan krisis legitimasi politik yang disebabkan karena sistem politik partai dan pemerintahan parlementer, hal ini karena pemerintahan kabinet parlementer pada saat itu tidak dapat mengatasi keadaan yang timbul. Sedangkan konsep Demokrasi Terpimpin yang diajukan oleh Presiden Soekarno dianggap sebagai sebuah resep untuk memperoleh pemerintahan yang kuat yang sanggup mengatasi krisis dan memulihkan ketertiban negara. Dengan diterimanya konsep ini oleh Angkatan Darat, maka hal ini merupakan peristiwa yang akan mengakhiri periode demokrasi konstitusional yang menentukan nasib Konstituante selanjutnya.
Kemerosotan Ekonomi
Kemerosotan ekonomi yang terjadi di Negara Indonesia pada saat itu disebaban karena :
Politisasi ekonomi
Perampasan hak milik dan pengusiran warga negara Belanda
Menurunnya kegiatan ekonomi
Inflasi dan kesulitan yang semakin besar bagi rakyat
Perpecahan bangsa yang semakin meruncing
Beberapa sumber yang menyebabkan terjadinya perpecahan nasioanal yang mempertajam krisis legitimasi politik adalah
a. Kesatuan nasional yang rawan dan adanya pertentangan Jawa –Luar Jawa
b. Pertentangan politik dan ideologis
c. Mundurnya Hatta dari jabatan wakil presiden
d. Pertentangan di dalam tubuh Angkatan Darat
e. Intervensi asing
Bangkitnya Angkatan Darat sebagai kekuatan politik utama dalam Negara
Angkatan Darat sebagai kekuatan militer yang sangat berperan dalam politik nasional negara Indonesia, dalam hubungannya dengan konsep Demokrasi Terpimpin yang dikemukakan Presiden Soekarno pada saat itu, Angakatan Darat merupakan kekuatan pendorong, sehingga paham tersebut dapat mengalahkan pemikiran mengenai negara konstitusional yang tengah diusahakan perwujudannya oleh Konstituante. Kondisi ini timbul karena pada saat itu banyak timbul gerakan di Jawa dan juga di daerah yang tidak puas dan tidak percaya dengan kepemimpinan pemerintah pusat. Oleh karena itu inisiatif pemerintah pusat untuk menjaga kestabilan politik sangat didukung oleh Angakatan Bersenjata yaitu Angkatan Darat khususnya, Angkatan Darat menganggap bahwa kondisi ini terjadi karena sistem parlementer yang digunakan pada saat itu tidak menjamin kestabilan politik negara Indonesia, yaitu dengan mengusulkan kepada Presiden Soekarno untuk kembali kepada UUD 1945.
Timbulnya Demokrasi Terpimpin sebagai rumusan politik yang menggantikan cita-cita Negara Konstitusional
Pada tanggal 21 Februari 1957 Presiden menyampaikan konsep politiknya di Istana Negara yaitu berupa Konsepsi Presiden, Konsepsi Presiden tersebut yang berisi tentang pembentukan Kabinet Gotong Royong dan pembentukan Dewan Nasional akhirnya dikenal dengan konsep Demokrasi Terpimpin. Konsep Demokrasi Terpimpin ini pada awalnya dimaksudkan untuk menangani masalah-masalah yang ada tetapi kemudian berkembang menjadi alat kekuasaan ekstra konstitusional, konsep ini merupakan suatu konsep alternatif untuk mengganti konsep negara konstitusional yang sedang dibahas di Konstituante, dan juga sekaligus penolakan terhadap hal tersebut (konsep negara konstitusional). Konsep Demokrasi Terpimpin ini merupakan suatu konsep politik Presiden Soekarno dihadapan para pemimpin partai politik dan tokoh politik lain termasuk panglima angkatan bersenjata dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angakatan Udara dan Kepolisian . Hal-hal yang mendasari munculnya konsep Demokrasi Terpimpin ini yaitu :
a. Anti dengan Demokrasi Liberal
b. Kembali ke Kepribadian Indonesia
c. Meneruskan Revolusi
Dengan jatuhnya Kabinet Ali Sastrosmidjojo Kedua dan pemberlakuan hukum darurat perang menjadi pendorong bagi Presiden Soekarno untuk meneruskan konsep Demokrasi Terpimpin dengan membentuk Kabinet Gotong Royong yang terdiri orang-orang non partai dan juga membentuk Dewan Nasional yang anggota-anggotanya adalah “golongan fungsional” dimana Angkatan Darat adalah golongan fungsional yang termasuk didalamnya.

F. Kegagalan Konstituante dan Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Pada hakekatnya Konstituante yang terbentuk pada saat itu, telah melaksanakan tugasnya dengan membuat rancangan undang-undang dasar yang sesuai dengan aspirasi rakyat. Rancangan undang-undang dasar yang berhasil terutama mengenai hak asasi manusia, para anggota Konstituante mempunyai keyakinan yang sama bahwa HAM merupakan bagian inti dari kodrat manusia dan terdapat dalam setiap peradaban manusia, HAM merupakan tujuan negara dan merupakan substansi yang penting dalam suatu undang-undang dasar. Kesepakatan yang dicapai dalam Konstituante mengenai masalah HAM dan perlindungan terhadap HAM merupakan hasil kerja Konstituante yang paling utuh dan dianggap sebagai norma konstitusional yang substantif bagi Republik Indonesia.
Sedangkan pembahasan dan perdebatan mengenai dasar negara menjadi sesuatu yang berlarut-larut yang tidak mendapatkan titik temu/kompromi antara pandangan-pandangan dan ideologi yang ada di Konstituante. Masing-masing pendukung ideologi tersebut saling mempertahankan pandangannya dan menganggap bahwa pandangan dan ideologinya adalah yang benar yang akan digunakan sebagai dasar negara. Pendekatan yang rasional untuk menyelesaikan masalah ini tidak berhasil untuk mengatasi perbedaan pandangan tersebut. Perbedaan pandangan ini akhirnya terpolarisasi menjadi pandangan negara Islam di satu sisi dan pandangan negara integralistik di sisi yang lain. Dan mengenai perdebatan dasar inilah, Konstituante menemui jalan buntu sehingga perdebatan dan pembicaraan dalam sidang Konstituante menjadi berlarut-larut, tanpa menghasilkan suatu kesepakatan, sampai masa reses tiba perdebatan mengenai dasar negara ini belum mencapai kesepakatan, sedangkan kondisi diluar Konstituante sangat berharap agar Konstituante segera menyelesaikan tugas. Dengan dasar inilah Pemerintah pada saat itu mengeluarkan wacana untuk kembali kepada UUD 1945, karena para wakil rakyat di Konstituante belum juga berhasil membentuk Undang-Udang Dasar yang baru.
Untuk perdebatan mengenai pemberlakuan UUD 1945 diawali dengan pidato Presiden Soekarno dihadapan Konstituante mengenai krisis yang terjadi diluar Konstituante, yaitu yang dialami oleh Pemerintah Indonesia dan rakyat Indonesia. Perdebatan ini menganggap bahwa dengan kembali ke UUD 1945 diharapkan dapat mengatasi keadaan tersebut. Perdebatan mengenai hal ini merupakan perdebatan yang cukup alot, sehingga saat dilakukan sidang pleno tiga kali berturut-turut untuk masalah ini tidak mencapai kesepakatan bersama, yaitu dukungan mayoritas atau 2/3 suara Konstituante untuk pemungutan suara mengenai pemberlakuan UUD 1945. Kesepakatan bersama yang belum tercapai tersebut kemudian dihentikan sementara dikarenakan Konstituante pada saat itu memasuki masa reses, dan saat itulah menjadi akhir dari riwayat sebuah Konstituante yaitu suatu badan konstistusional yang mencerminkan aspirasi kehendak rakyat dalam penyusunan undang-undang dasar.
Dengan hasil akhir dari Konstituante yang belum berhasil mencapai kesepakatan mengenai pemberlakuan kembali UUD 1945 dan kondisi politik yang terjadi pada saat itu, maka dengan dukungan Angkatan Darat yang menginginkan kembali kepada UUD 1945, Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mengeluarakan Dekrit Presiden yang isinya adalah sebagai berikut:
1. Pembubaran Konstituante Republik Indonesia
2. Tidak berlakunya lagi UUD Sementara 1950
3. Berlakunya kembali UUD 1945
4. Pembentukan MPR Sementara dan DPR Sementara
Maka dengan munculnya dekrit tersebut Konstituante yang saat itu sedang reses, menjadi reses untuk selama-lamanya. Dan sidang sidang yang telah dilaksanakan untuk mewujudkan suatu negara konstitusional yang menjadi harapan seluruh rakyat sebagai sebuah negara yang merdeka sepenuhnya menjadi sia-sia dan tidak terwujudkan.
Ada beberapa pendapat yang menyebabkan pembubaran Konstituante dan akhirnya muncul Dekrit Presiden 5 Juli 1959, seperti yang dikemukakan Bintan R.Saragih, bahwa ada 4 faktor yang menjadi latar belakangnya[4] yaitu
1. Faktor Kabinet yang tidak bertahan lama
Sistem Parlementer yang dianut pada saat itu, mengakibatkan bahwa keberadaan kabinet tergantung dari dukungan parlemen, sehingga setiap ada mosi tidak percaya dari parlemen atau partai politik, maka partai politik yang mempunyai anggota dalam kabinet akan menarik anggotanya dan akhirnya kabinet jatuh. Hal seperti terjadi pada saat itu dimana pada kurun waktu 6 September 1950 sampai dengan 9 April 1959 terdapat enam kabinet yang silih berganti
2. Faktor Presiden (konstitusional) Soekarno
Bahwa sesuai dengan ketentuan pasal 83 UUDS 1950 bahwa Presiden dan wakil presiden tidak dapat diganggu gugat, dan menteri-menteri bertanggung jawab atas keseluruhan kebijaksanaan pemerintah , maka presiden hanya sebagai kepala negara saja atau disebut Presiden Konstitusional, dalam hal ini Presiden Soekarno sebagai pemimpin bangsa yang diakui, yang mempunyai kharisma dan panutan rakyat pada saat itu kurang senang dengan kondisi seperti itu, ditambah dengan pengunduran diri wakil presiden Moh.Hatta, mendasari keluarnya Konsepsi Presiden. Isi dari Konsepsi tersebut yaitu: mengganti sistem demokrasi parlementer dengan demokrasi yang cocok dengan dengan kepribadian bangsa Indonesia yaitu Demokrasi Terpimpin (Demokrasi Gotong Royong), Pembentukan Kabinet Gotong Royong, pembentukan Dewan Nasional, Pembentukan kabinet kaki empat ( anggota dari empat partai besar yaitu PNI, NU, Masyumi, PKI)
3. Faktor ABRI
ABRI dalam hal ini adalah Angkatan Darat yang lahir pada saat revolusi merasa bertangung jawab untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia, oleh karena itu melihat kondisi Konstituante yang tidak berhasil mencapai kesepakatan untuk pembentukan UUD maka Pimpinan ABRI pada saat itu mengusulkan untuk kembali ke UUD 1945
4. Kegagalan Konstituante sendiri mencapai 2/3 dalam pemungutan suara yang dilakukan dalam rapat-rapat
Setelah terjadi kegagalan dalam pemungutan suara terhadap usulan pemerintah untuk kembali ke UUD 1945 sebanyak tiga kali, yaitu tidak mencapai 2/3 dari anggota Konstituante yang hadir. Sampai dengan masa resesnya Konstituante tidak dapat mengambil keputusan untuk hal ini, sehingga dengan resesnya Konstituante pada saat itu mengakhiri juga sejarah badan pembuat Undang Undang Dasar tersebut, karena kemudian Konstituante dibubarkan dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sebelum Konstituante sempat bersidang lagi.
Pada akhirnya sesuatu yang bisa ditarik kesimpulan dari Disertasi berjudul Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia Studi Sosio-Legal atas Konstiuante 1956-1959 yaitu antara lain :
1. Hasil yang diapai oleh Konstituante :
Pada hakekatnya konstituante telah memberikan sumbangan yang besar dalam membuat keputusan-keputan dengan cita-cita pembentukan negara konstitusional, yaitu dengan penegasan mengenai komitmen terhadap demokrasi, penegasan terhadap HAM, dan juga pengakuan atas masalah kekuasaan yaitu untuk melakukan kontrol terhadap kekuasaan pemerintah guna mencegah kemungkinan penyalahgunaannya
2. Konsep Pemerintahan Konstitusional
yaitu membayangkan terbentuknya negara yang menjalankan fungsi normative tertentu, yang melakukan perlindungan terhadap HAM serta pengaturan dan pengendalian terhadap kekuasaan, dan juga pemerintah yang dibatasi oleh hukum
3. Mengapa Konstituante tidak berhasil
Kondisi yang terjadi diluar Konstituante mempunyai pengaruh besar terhadap kegagalan konstituante. Sikap Presiden dan Angkatan darat yang tidak melakukan dukungan terhadap Konstituante merupakan sebab yang utama
4. Kekurangan-kekurangan Konstituante
Walaupun Konstituante melaksanakan perdebatan yang panjang lebar mengenai ide-ide konsep negara, tetapi pada perkembangannya ide-ide tersebut tidak sesuai dengan konsep pemerintahan konstitusionalisme, dimana para pengusung ideologi bersaing untuk dapat dijadikan sebagai dasar penyusunan negara. Dan sebenarnya hal inilah yaitu perdebatan yang tidak menemukan jalan keluar yang akhirnya membawa pada pembubaran Konstituante

Amandemen UUD 1945 pada tahun 1999-2002 sebagai suatu proses pembentukan dan perubahan sebuah Konstitusi (sebagai perbandingan dengan proses yang dilakukan dalam Konstituante)

Pada saat Konstituante terbentuk sistem pemerintah pada saat itu adalah dengan menggunakan sistem parlementer, dan seperti maklumat pemerintah pada saat itu, bahwa timbul banyak partai yang ikut dalam pemilu. Rakyat diberi kebebasan untuk menciptakan partai yang akan mewakili aspirasinya di badan perwakilan (DPR) atau di Konstituante. Oleh karena itu Konstituante yang terbentuk merupakan wakil-wakil dari partai yang berjumlah 514 orang dan 20 anggota tambahan. Konstituante yang terbentuk ini tidak berhasil membuat Undang Undang Dasar yang baru yang permanen, hal itu karena wakil-wakil rakyat pada saat itu mengalami perdebatan jalan buntu, yaitu untuk masalah-masalah yang krusial yaitu Dasar Negara yang akan digunakan dalam Undang-Undang Dasar. Walaupun sebenarnya permasalahan lain dalam perdebatan menemukan pemecahannya sebagai unsur dalam suatu undang-undang dasar, tetapi kondisi yang tidak memungkinkan terbentuknya suatu undang undang dasar yang baru, maka seakan akan hasil jerih payah dari Konstituante selama lebih kurang 3 tahun menjadi tidak ada artinya,dan perubahan undang–undang dasar yang diharapkan tidak tercapai.
Konstituante sebagai badan yang terbentuk untuk mengubah UUD 1945 bisa dikatakan sebagai bagian dari proses reformasi Konstitusi (Constitusional Reform)[5] yang dilakukan pada saat itu, dimana peristiwa tersebut didasari oleh keinginan bersama bangsa Indonesia sebagai negara yang baru merdeka, untuk dapat membentuk UUD dengan penuh kesadaran sebagai suatu aspirasi dari seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu bisa dikatakan pada kurun waktu tahun 1956 -1959 merupakan proses reformasi konstitusi yang dilakukan oleh Konstituante
Kondisi seperti itu bisa kita bandingkan dengan munculnya orde Reformasi di tahun 1998. Dimana diawali dengan jatuhnya kondisi perekonomian Indonesia pada saat itu, yang diikuti dengan peristiwa sosial politik hingga jatuhnya Pemerintahan Suharto, maka pada saat itu juga timbul keinginan yang besar untuk melakukan reformasi konstitusi dengan perubahan/amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Hal-hal yang mendasari timbulnya keinginan perubahan UUD 1945[6] adalah yang bisa disejajarkan dengan proses pembentukan UUD yang dilakukan oleh Konstituante antara lain :
Alasan Historis
UUD 1945 adalah Undang Undang Dasar yang sifatnya sementara, oleh karena itu perlu dibuat Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap dan Sempurna
Alasan Filosofis
Dalam UUD 1945 terdapat pencampuradukan beberapa gagasan yang saling bertentangan, antara faham kedaulatan rakyat dan faham integralistik, antara negara hukum dan negara kekuasaan
Alasan Teoritis
Secara konstitusional bahwa UUD seharusnya membatasi kekuasaan negara agar tidak sewenang-wenang, tetapi hal itu dalam UUD 1945 hal tersebut tidak jelas atau kurang menonjol
Alasan Yuridis
bahwa untuk perubahan UUD telah tercantum ketentuannya dalam pasal 37 UUD 1945
Alasan politik Praktis
banyaknya penyimpangan yang dilakukan pada kurun waktu 1959 -1998 akibat multi intepretasi yang sesuai dengan penguasa pada saat itu
Alasan-alasan tersebut diatas yang dapat menjadi dasar mengapa perlunya perubahan ataupun amandamen atas UUD 1945 dilakukan, selain dengan adanya euforia dari reformasi yang terjadi pada saat itu yang secara popular dituntut pada saat itu oleh para mahasiswa adalah :
- Adili Soeharto
- Hapuskan Dwi Fungsi ABRI
- Amandemen UUD 1945


Dalam bukunya Modern Constitutions KC. Wheare[7] menyatakan bahwa suatu perubahan konstitusi dapat dilakukan dengan melakukan Amandemen Formal, yang di dalam proses amandemen itu harus didasari dengan beberapa pandangan antara lain untuk :
1. Konstitusi diubah dengan karena alasan yang matang, bukan sederhana atau serampangan
2. Rakyat diberi kesempatan mengungkapkan pandangannya sebelum dilakukan perubahan
3. Dalam sistem federal, kekuasaan unit pemerintah pusat tidak bisa diubah oleh satu pihak
4. Hak individu atau masyarakat, misal hak minoritas dalam bahasa, agama atau kebudayaan harus dilindungi
Proses Amandemen yang telah dilakukan terhadap UUD 1945 adalah sebagai proses politik dan kenegaraan yang awalnya terjadi dengan proses reformasi yang berhasil menjatuhkan pemerintahan Soeharto, yang kemudian disusul dengan terbuka kondisi politik dengan terbentuknya banyak partai yang mengikuti Pemilu 1999, dimana para wakil rakyat yang terpilih pada pemilu tersebut yang duduk menjadi anggota DPR dan sekaligus anggota MPR ditambah dengan Utusan Golongan dan TNI/Polri yang melakukan amandemen UU 1945 dalam sidang-sidangnya.
Pemilu 1999 merupakan pemilu yang demokratis sejak masa Orede Baru, dimana sistem pemerintahan pada saat itu adalah Presidensil yang membedakan dengan kondisi pada saat Konstituante terbentuk, hal ini karena pemilu 1999 diikuti oleh 48 partai politik sebagai kontestannya. Partai-partai tersebut lahir sebagai pencerminan dari aspirasi yang ada dalam masyarakat, yang ternyata mempunyai keinginan politik yang bermacam. Hal ini bisa dikatakan sebagai aspirasi politik yang tiba-tiba terbuka lebar, setelah sebelumnya di jaman Orde Baru, keinginan itu ditutup rapat-rapat oleh Pemerintah. Pemilu pada tahun 1999 ini menghasilkan 9 fraksi dalam MPR yang ditambah dengan Fraksi Utusan Golongan dan Fraksi TNI/Polri melakukan proses amandemen UUD 1945 sampai dengan amandemen IV sebagai hasil akhirnya. Walaupun hasil sampai amandemen IV tersebut masih menyisakan beberapa PR yang mungkin akan dapat diselesaikan dengan suatu amandemen lagi.
Proses Amandemen UUD 1945 bila dihubungkan dengan pendapat KC Wheare mengenai pembentukan suatu UUD / Konstistusi tersebut diatas dapat kita lihat bahwa Amandemen yang telah dilakukan terlihat
1. Tergesa-gesa dan parsial yang masih sarat dengan kepentingan politik dan bukan dengan pemikiran yang matang dan alasan yang bisa dijelaskan kepada rakyat. Sehingga hasil amandemennya menjadi tidak sinkron satu pasal dengan pasal lainnya
2. Kurang dilibatkannya rakyat dalam proses amandemen tersebut, walaupun dalam proses amandemen ini MPR juga telah melibatkan Tim Ahli dari para akademisi, namun masih tampak besarnya kekuatan politik sangat berpengaruh dalam proses amandemen tersebut, sehingga aspirasi rakyat yang seharusnya bisa tersuarakan dalam pembuatan amandemen tersebut, menjadi kalah dengan aspirasi politik dari partai-partai, yang belum tentu sama aspirasinya dengan aspirasi rakyat tersebut.
3. Walaupun masih banyak kekurangan dalam melaksanakan tugasnya, apa yang dilakukan oleh MPR periode 1999-2002 dalam melakukan amandemen telah membuat desakralisasi UUD 1945. Sehingga UUD 1945 sejak pertama kali digunakan oleh Negara Indonesia, dan proses perubahan dan pergantian UUD yang digunakan, pada saat inilah baru berhasil melakukan perubahan UUD 1945 melalui amandemen. Sedangkan Konstituante yang terbentuk pada tahun 1956-1959 tidak memberikan hasil perubahan dalam pembuatan UUD yang baru maupun amandemen UUD.
1. Konstituante sebagai badan pembentuk Undang Undang Dasar, walaupun tidak berhasil melakukan tugasnya yaitu membentuk Undang-Undang Dasar, telah berhasil memberikan sumbangan yang besar dalam membuat keputusan-keputusan dengan cita-cita pembentukan negara konstitusional, yaitu dengan penegasan mengenai komitmen terhadap demokrasi, penegasan terhadap HAM, dan juga pengakuan atas masalah kekuasaan yaitu untuk melakukan kontrol terhadap kekuasaan pemerintah guna mencegah kemungkinan penyalahgunaannya. Konstituante telah meletakkan dasar-dasar dalam pembentukan suatu konstitusi, yaitu merupakan prinsip-prinsip demokrasi yang mencerminkan aspirasi dari rakyat.
2. Dalam konteks Amandemen UUD 1945 (Constitutional Reform) yang dilakukan oleh MPR pada periode 1999 – 2002, bisa dikatakan bahwa proses amandemen ini bisa disamakan dengan proses yang dilakukan oleh Konstituante, karena sebenarnya UUD 1945 hasil amandemen sangat jauh berbeda dengan UUD 1945 sebelum amandemen, sehingga bisa dikatakan bahwa proses amandemen ini juga telah melakukan perubahan terhadap UUD 1945.Walaupun hasil dari kedua institusi tersebut berbeda, dimana Konstituante gagal membentuk UUD yang baru sedangkan sedangkan MPR pada saat itu berhasil melakukan amandemen sampai Ke-4, yang bisa dikatakan bahwa UUD amandemen sudah sangat berbeda dengan UUD 1945 sebelum amandemen
3. Dalam Proses penyusunan UUD terjadi perdebatan yang tajam diantara anggota Konstituante, hal ini pun terjadi juga dalam sidang-sidang di MPR untuk proses amandemen UUD 1945. Didalam Konstituante perdebatan itu pada akhirnya menemui jalan buntu, terutama perdebatan tentang dasar negara, sedangkan pada MPR walaupun pada awalnya diragukan apakah bisa melakukan amandemen, tetapi pada akhirnya walaupun dengan hasil amandemen yang masih banyak kekurangannya, proses amandemen dapat dilaksanakan
Dalam melaksanakan suatu perubahan atau penggantian UUD diperlukan badan tersendiri atau suatu Komite yang lepas dari kepentingan politik sesaat dari partai-partai yang ada, badan ini diharapkan dapat menyusun perubahan atau pun penggantian UUD secara lebih integral dalam materi-materi yang termuat dalam UUD yang dalam rumusan hasilnya harus disetujui oleh rakyat secara mufakat. Jadi walaupun ketentuan tentang perubahan (perubahan pasal-pasal) UUD 1945 telah tertuang dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945 amandemen IV, tetapi dalam pembuatan dan pembahasannya tidak hanya dilakukan oleh PAH BP MPR, yaitu sedapat mungkin bahan-bahan tersebut telah dipersiapkan oleh suatu badan atau Komisi yang bertugas untuk melakukan penyusunan tentang amandemen UUD yang anggotanya merupakan cermin wakil rakyat dan juga kalangan akademis. Sebenarnya badan atau komisi semacam ini juga telah ada dalam penyusunan amandemen UUD 1945 yang lalu, tetapi karena faktor politik maka hasil kerja dari badan atau komisi tidak sepenuhnya menjadi acuan bagi PAH di Badan Pekerja MPR dalam menyusun amandemen UUD 1945.
Badan atau komisi ini diharapkan dapat meneruskan peranan Konstituante yang lalu yang belum berhasil untuk melakukan perubahan UUD 1945. Hal ini perlu dilakukan karena hasil amandemen IV UUD 1945 masih banyak kekurangannya dan adanya ketidaksinkronan antara pasal yang satu dengan pasal yang lain, badan atau panitia atau komisi ini harus dipersiapkan agar hasil dari amandemen UUD bisa mencerminkan aspirasi rakyat dan bukan aspirasi partai sesaat .UUD 1945 hasil amandemen juga tidak secara tegas melakukan tahapan-tahapan agenda setting,development design, dan approval, sehingga tidak ada konsep awal kemana amandemen UUD 1945 akan diarahkan[8]. Oleh karena itu diperlukan kajian yang lebih mendalam, terutama dari para akademisi, untuk melakukan peninjauan terhadap amandemen UUD 1945 agar dapat lebih memenuhi kondisi yang bangsa Indonesia sekarang ini.

DAFTAR PUSTAKA

Busroh, Abu Daud, Ilmu Negara, Bumi Aksara, Jakarta, 1990

Fajar, Abdul Mukthie, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta,2006

Huda, Ni’matul, Hukum Tata Negara Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005

Indrayana, Denny, Negara Antara Ada dan Tiada : Reformasi Hukum Ketatanegaraan, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2008

KC Wheare, Konstitusi-Konstitusi Modern (terjemahan oleh M.Hardani), Pustaka Eureka,Jakarta, 1975

Malian, Sobirin, Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945, UII Press, Jakarta, 2001

Thaib, Dahlan dkk, Teori dan Hukum Konstitusi edisi II, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta,2001

Saragih, Bintan R, Pemikiran-Pemikiran yang Melatarbelakangi Kembali ke UUD 1945, Hukum dan Politik Indonesia: Tinjauan Analitis Dekrit Presiden dan Otonomi Daerah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996

Suharizal, dan Firdaus Arifin, Refleksi Reformasi Konstitusi 1998-2002 (Beberapa Gagasan Menuju Amandemen Kelima UUD 1945), PT.Citra Aditya Abadi,Bandung, 2007

UUD Negara Negara Republik Indonesia 1945
[1] Mahfud,MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia “Studi tentang interaksi politik dan kehidupan ketatanegaraan”, Rineka Cipta, Jakarta, 2000
[2] Busroh, Abu Daud, Ilmu Negara, Bumi Aksara, Jakarta, 1990
[3] Thaib, Dahlan dkk, Teori dan Hukum Konstitusi edisi II, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta,2001
[4] Saragih, Bintan R, Pemikiran-Pemikiran yang Melatarbelakangi Kembali ke UUD 1945, Hukum dan Politik Indonesia: Tinjauan Analitis Dekrit Presiden dan Otonomi Daerah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996
[5] Fajar, Abdul Mukthie, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta,2006
[6] ibid hal 9
[7] KC Wheare Modern Constitutions(Konstitusi-Konstitusi Modern terjemahan oleh Muhmmad Hardani), Pustaka Eureka, 2003
[8] Indrayana, Denny, Negara Antara Ada dan Tiada : Reformasi Hukum Ketatanegaraan, Penerbit Buku Kompas, Jakarta,2008, hal.5.

“PROSEDUR DAN SISTEM PERUBAHAN KONSTITUSI”

“PROSEDUR DAN SISTEM PERUBAHAN KONSTITUSI”
A. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi
1. Pengantar
Prof. Dr. H. R. Sri Soemantri Martosoewignjo, S.H., salah seorang pakar Hukum Tata Negara Indonesia, menyatakan bahwa perubahan Undang-Undang Dasar pada dasarnya merupakan suatu keniscayaan. Hal itu berpijak pada masalah dasar yang dihadapkan kepada kita adalah “dapatkah generasi yang hidup sekarang ini mengikat generasi yang akan datang ?” Perkataan “sekarang” dalam kalimat di atas dapat pula diubah menjadi “yang lalu’, sehingga persoalannya akan berbunyi “dapatkah generasi yang lalu mengikat generasi yang hidup sekarang ini?”
Bila persoalan dimaksud diterapkan pada konstitusi atau undang-undang dasar, akan timbul pertanyaan apakah “konstitusi yang disusun oleh para pendahulu kita dapat di ubah?”. Dalam suasana yang tidak memungkinkan bagi para penyelenggara negara melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 945, pada tahun 1978, Prof. Dr. H. R. Sri Soemantri Martosoewignjo, S.H. (selanjutnya disebut dengan Penulis) telah mempunyai keberanian untuk melakukan penelitian tentang kemungkinan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang berupa constitutional amandemen.
Hampir dua puluh delapan tahun kemudian, perubahan UUD 1945 secara formal dilakukan pada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat pada Tahun 1999. Hal ini menunjukkan kepakaran Penulis dan kemampuanya berpikir jauh ke depan. Guna mempelajari pola dan landasan pikir Penulis, penyusun mencoba mengupas buku Penulis yang berjudul “Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi” berdasarkan pengetahuan Penyusun yang didapat dari sumber referensi dan bahan bacan lain.
Khusus pada bagian ini, penyusun mencoba menyarikan pemikiran-pemikiran Penulis yang dituangkan dalam buku dimaksud.

2. Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai kontitusi tertulis merupakan konstitusi yang dituangkan dalam dokumen formal. Menurut sejarahnya, Undang-Undang Dasar 1945 dirancang oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemedekaan pada tanggal 29 Mei 1945 sampai dengan tanggal 16 Agustus 1945, atau hanya dalam waktu 49 (empat puluh sembilan) hari kerja. Karena disusun dalam waktu yang singkat dan dalam suasana yang kurang memungkinkan, oleh penyusunnya UUD 1945 dikatakan sebagai UUD kilat.
Hal ini seperti dinyatakan oleh Soekarno sebagai ketua PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 : “.. bahwa Undang-Undang Dasar yang kita buat sekarang ini, adalah Undang-Undang Dasar Sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan : ini adalah Undang-Undang Dasar Kilat. Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna..”
Sebagai undang-undang dasar atau konstitusi sebagai dokumen, pada saat ditetapkannya Undang-Undang Dasar Negara 1945 dikenal juga dengan Undang-Undang Dasar Negara Proklamasi :
a. hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau
b. berisi pandangan tokok-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik untuk waktu sekarang maupun untuk masa yang akan datang
c. mengandung atau berisi suatu keinginan, dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin.
Satu hal yang belum tercakup yang biasanya terdapat dalam konstitusi adalah “tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa”, karena belum memungkinkan untuk dapat dilaksanakan sepenuhnya.
Pada umumnya, undang-undang dasar atau konstitusi berisi tiga hal pokok, yaitu :
1. adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warganegara. Dalam Undang-Undang Dasar 1945, hal ini diantaranya terdapat pada Pasal 27, Pasl 28, Pasal 29, Pasal 31,dan pasal 37.
2. ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifaf fundamental. Untuk mencapai tujuan negara, sidang BUPK telah sepakat untuk menetapkan adanya enam lembaga dalam Undang-Undang Dasar. Dalam UUD 1945 juga ditetapkan bentuk pemerintahan, yaitu Republik. Materi ini diatur dalam Pasal 1, 2, 4, 6, 7, 8, 16, 17, 18, 19, 23, dan 24.
3. adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental. Pengaturan tentang pembagian dan pembatasan tugas serta wewenang ketatanegaraan terdapat dalam pasal 3, 5, 10, 11, 23, 32, 34, 37.

Ahli-ahli hukum tata negara dan atau hukum konstitusi mengklasifikasikan kosntitusi dalam beberapa golongan. Berdasarkan klasifikasi itu, Penulis menggolongkan Undang-Undang Dasar 1945 termasuk konstitusi tertulis dalam arti dituangkan dalam sebuah dokumen (writen or documentary constitution), konstitusi derajat tinggi (supreme constitution), konstitusi kesatuan, karena Negara Republik Indonesia berbentuk Negara Kesatuan, dan konstitusinya menganut sistem pemerintahan campuran. Undang-Undang Dasar 1945 yang dapat disebut juga dengan hukum dasar (fundamental law) juga digolongkan Penulis dalam konstitusi yang ‘rigid’ (halaman 88), yang mempunyai ciri-ciri pokok :
a. mempunyai kedudukan dan derajat yang lebih tinggi dari peraturan perundang-undangan yang lain
b. hanya dapat diubah dengan cara yang khusus atau istimewa

3. Prosedur Serta Sistem Perubahan Undang-Undang Dasar
Apabila prosedur perubahan konstitusi-konstitusi yang termasuk rijid digolong-golongkan, diperoleh empat macam cara perubahan :
a. perubahan konstitusi yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan legislatif, tetapi menurut pembatasan-pembatasan tertentu.
b. perubahan konstitusi dilakukan oleh rakyat melelui referandum
c. perubahan konstitusi yang dilakukan oleh sejumlah negara-negara bagian.
d. perubahan konstitusi yang dilakukan dalam suatu konvensi atau dilakukan oleh suatu lembaga-negara khusus yang dibentuk hanya untuk keperluan perubahan.

4. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945
Perubahan Undang-Undang Dasar diatur dalam Pasal 37 Undang-Undang Dasar 1945, yaitu :
(1) Untuk mengubah Undang-Undang Dasar sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat harus hadir
(2) Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota yang hadir
Dari pasal tersebut, Penulis mengemukakan bahwa: pertama, bahwa wewenang untuk mengubah Undang-Undang Dasar berada di tangan MPR. MPR terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan Utusan Daerah Tingkat 1, utusan partai politik, utusan golongan karya ABRI dan Bukan ABRI. Melihat susunan MPR tersebut dapat disimpulkan bahwa lembaga negara tersebut merupakan penjelmaan rakyat Indonesia.
Dengan kata lain, dapat dikemukakan bahwa menetapkan serta mengubah Undang-Undang Dasar berada di tangan satu lembaga-negara, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat. Lembaga-negara ini menurut Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 diberi kekuasaan melaksanakan kedaulatan rakyat. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dengan jelas mengatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat. Kedaulatan yang berada di tangan rakyat ini dilakukan hanya dan oleh satu badan atau lembaga-negara, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat. Itulah sebabnya, oleh Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia tentang Sistem Pemerintahan Negara dikatakan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat tersebut merupakan penjelmaan rakyat Indonesia.
Kedua, menurut sistem ketatanegaraan seperti dianut Undang-Undang Dasar, MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat mempunyai tugas serta wewenang tertentu. Salah satu wewenangnya seperti dinyatakan dalam Ketetapan MPR-RI Nomor I/MPR/1983 tentang Peraturan Tata-Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah mengubah Undang-Undang Dasar, disamping terdapat kewenangan yang lain yang tidak terdapat dalam Undang-Undang dasar 1945. Menurut pendapat Penulis, wewenang ini merupakan tambahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945. (halaman 146)
Ketetapan MPR adalah salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang kedudukan dan derajatnya berada dibawah Undang-Undang Dasar. Oleh karena itu, Penulis berpendapat bahwa tidak tepat apabila prosedur penetapan UUD tersebut diatur dalam ketetapan MPR.
Ketiga, mengenai prosedur pengambilan keputusan tentang perubahan UUD yang tidak melalui Pasal 37 UUD. Dalam Pasal 37 UUD diatur bahwa perubahan Undang-Undang Dasar sah apabila diterima oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir. Namun, di dalam Ketatapan MPR-RI Nomor I/MPR/1983 juga menentukan bahwa pengambilan keputusan secara lain, yaitu mufakat disamping dengan suara terbanyak. Penulis mengemukakan bahwa suara terbanyak yang terdapat dalam Pasal 2 ayat 3 merupakan lex genaralis, sedangkan Pasal 37 merupakan lex specialis.

Mengenai arti “perubahan” dalam pasal 37 Undang-Undang Dasar 1945, Penulis mengemukakan bahwa “perubahan” yang juga disebut dengan “amandemen” tidak saja berarti “menjadi lain isi serta bunyi” ketentuan dalam undang-undang dasar, tetapi juga “mengandung sesuatu yang merupakan tambahan pada ketentuan-ketentuan dalam undang-undang dasar yang sebelumnya tidak terdapat di dalamnya”. (halaman 172)
Penulis juga mengemukakan bahwa wewenang MPR untuk mengubah Undang-Undang dasar termasuk dalam lingkup Hukum Tata Negara Indonesia dan atau Hukum Konstitusi Indonesia. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa perubahan Undang-Undang Dasar adalah masalah hukum. Namun, MPR sebagai pelaksana kekuasaan (dalam) negara dapat memaksa pihak lain untuk mematuhi keputusan-keputusannya. Dengan demikian, kekuasaan MPR untuk mengubah Undang-Undang Dasar juga merupakan bidng studi ilmu politik. Jadi, wewenang mengubah Undang-Undang Dasar adalah masalah hukum yang mengandung aspek politik. (halaman 179)
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak terdapat ketentuan tentang pembatasan dalam mengubah undang-undang dasarnya. Namun demikian, sulit dinyatakan bahwa tanpa adanya perturan tentang pembatasan, berarti semua bagian dari konstitusi dapat diubah. Hal itu juga belum berarti dapat diubahnya bagian-bagian tertentu dari Undang-Undang Dasar 1945. Ditinjau dari segi politik, dapat diubah atau tidaknya bagian-bagian tertentu dari Undang-Undang Dasar 1945 bergantung kepada baik kekuatan-kekuatan politik yang terdapat dalam masyarakat maupun yang terdapat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat. Andaikata MPR -yang anggota-anggotanya dipilih dalam pemilihan umum- dikuasai oleh kekuatan politik tertentu yang tidak menghendaki adanya perubahan terhadap bagian manapun dari Undang-Undang Dasar, kekuatan politik yang lain tidak akan berhasil dalam usahanya untuk mengubah Undang-Undang Dasar tersebut. Sebaliknya, andaikata lebih dari 2/3 jumlah anggota MPR terdiri dari anggota-anggota kekuatan politik yang menghendaki adanya perubahan terhadap bagian atau bagian-bagian tertentu Undang-Undang Dasar 1945, hal itu dapat saja dilakukan. (halaman 183)
Pada waktu tulisan ini diketengahkan pada tahun 1978, Penulis berpendapat adanya dua macam kemungkinan jalan yang dapat ditempuh untuk mengubah Undang-Undang Dasar 1945 :
1) Usul perubahan undang-undang dasar yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Apabila beberapa anggota DPR berpendapat perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar, maka mereka dapat mengajukan usul perubahan dalam sidang-sidang DPR. Usulan tersebut dibahas dalam sidang Dewan Perwakilan Rakyat. Apabila usulan diterima, usulan disampaikan dalam bentuk memorandum ke Majelias Permusyawaratan Rakyat untuk selanjutnya disiapkan oleh Badan Pekerja MPR, dengan membentuk Panitia Negara yang bertugas mempelajari dan mempersiapkan rancangan keputusan tentang perubahan, dan hasilnya silaporkan kembali ke Badan Pekerja MPR. Laporan yang diterima dari panitia tadi kemudian dipelajari dan dibahas oleh Badan Pekerja MPR. Badan Pekerja MPR dapat menolak atau menerima memorandum DPR.
Memorandum yang diterima oleh Badan Pekerja MPR disampaikan dalam Sidang Umum atau Sidang Istimewa MPR, untuk selanjutnya dibahas. Perubahan UUD 1945 sah bila disetujui oleh ¾ dari peserta rapat majelis yang memenuhi kuorum.
2) Usul perubahan undang-undang dasar yang diajukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
Anggota-anggota MPR (45 orang) mengajukan usul perubahan UUD ke Majelis Permusyawaratan Rakyat. Apabila diterima, usulan diteruskan ke Badan Pekerja MPR untuk dipersiapkan. Badan Pekerja MPR membentuk Panitia Negara guna mempelajari dan mempersiapkan rancangan keputusan, dan hasilnya dilaporkan ke badan Pekerja MPR. Usulan perubahan disampaikan dalam Sidang Umum atau Sidang Istimewa MPR, untuk selanjutnya dibahas. Perubahan UUD 1945 sah bila disetujui oleh ¾ dari peserta rapat majelis yang memenuhi kuorum.

Tugas untuk menetapkan UUD serta wewenang untuk mengubah UUD berada dalam satu lembaga, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat. Walaupun demkian, dengan dicantumkannya tugas untuk menetapkan UUD dalam satu pasal, dan bab tersendiri mempunyai arti bahwa penetapan Undang-Undang dasar hanya dapat dilakukan satu kali saja, kecuali apabila Undang-Undang Dasar yang sedang berlaku diganti dengan yang baru. Dengan demikian, MPR menetapkan Undang-Undang Dasar dalam kedudukannya sebagai Konstituante atau Majelis Pembuat Undang-Undang Dasar dan bukan Majelis Perubahan Undang-Undang Dasar. Dengan demikian, Pasal 37 dan Pasal 3 berisi dua kekuasaan MPR yang terpisah. Tugas MPR adalah untuk menetapkan UUD dan wewenang MPR untuk mengubah UUD. Menetapkan UUD dalam Pasal 3 tersebut berarti juga membuat Undang-Undang dasar yang baru untuk menggantikan Undang-Undang Dasar yang berlaku. Oleh karena itu, perubahan Undang-Undang Dasar tidak mungkin diatur serta dituangkan dalam peraturan perundang-undangan yang mempunyai bentuk Undang-Undang Dasar. Ini berarti bahwa dalam Negara republik Indonesia hanya dimungkinkan adanya satu Undang-Undang Dasar. (halaman 234)
Di samping itu, perubahan undang-undang dasar tidak dapat dituangkan atau diatur dalam Ketetapan MPR karena Ketetapan MPR merupakan bentuk peraturan perundang-undangan yang dibuat/ditetapkan oleh MPR yang derajatnya lebih rendah dari Undang-Undang Dasar.
Selanjutnya, Penulis berpendapat agar perubahan yang dilakukan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 merupakan “lampiran” daripadanya. Dengan demikian, Pembukaan dan Undang-Undang Dasar 1945 tetap seperti yang dirumuskan pada tanggal 18 Agustus 1945. Perubahan undang-undang dasar yang tercantumsebagai”lampiran” merupakan satu kesatuan dengan pembukaan dan Undang-Undang Dasarnya dan tidak dapat dipisahkan.
Dikarenakan baik bentuk Undang-Undang Dasar maupun Ketetapan MPR tidak mungkin dipergunakan sebagai bentuk peraturan perundang-undangan untuk menuangkan perubahan Undag-Undang dasar, maka harus diciptakan ‘bentuk baru” atau “tidak diberi bentuk sama sekali”. Dalam hubungan ini dapat dipikirkan ‘bentuk baru’ dengan nama : Perubahan atau Amandeman. Dengan demikian, apabila Undang-Undang dasar 1945 diubah, maka perubahan tersebut merupakan ‘lampiran’ daripadanya dan dapat diberi nama Perubahan/Amandeman Pertama, Perubahan/Amandemen Kedua, Perubahan/Amandemen Ketiga, dan seterusnya. Dalam hubungan ini Penulis cenderaung menggunakan istilah amandeman.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak diatur keharusan untuk mengumumkan keputusan-keputusan MPR, termasuk amandemen. Namun, agar keputusan-keputusan MPR dapat segera diketahui rakyat Indonedia, maka seharusnya amandeman setelah diumumkan dalam Lembaran Negara, secara serentak diumumkan melalui media masa. Karena belum ada atruannya, perlu diadakan peraturan perundang-undangan yang mengatur hal tersebut. (halaman 252)
Sehubungan dengan pelaksanaan wewenang mengubah Undang-Undang Dasar, Penulis berpendapat bahwa pembicaraan tentang perubahan undang-undang dasar harus dilakukan dalam sidang-sidang dengan acara khusus untuk itu agar memberi kesempatan kepada para anggota MPR untuk mempelajari pikiran-pikiran yang hidup di kalangan masyarakat. Dengan kata lain, segala hal yang dikemukakan dalam sidang-sidang MPR akan mempunyai landasan yang cukup kuat. (halaman 256). Sebaliknya, Keputusan MPR yang ditetapkan tanpa prosedur khusus dimaksud harus dinyatakan tidak sah karena usul perubahan undang-undang dasar tersebut tidak diberitahukan lebih dahulu kepada para anggota MPR sehingga tidak mendapat cukup kesempatan untuk mempelajari masak-masak usul tersebut.

B. PEMBAHASAN
1. Penetapan UUD 1945 sebagai UUD Negara Republik Indonesia
Dalam sejarahnya, Undang-Undang Dasar 1945 resmi disahkan berlaku sebagai konstitusi negara pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Namun demikian, Undang-Undang Dasar 1945 ini tidak langsung dijadikan referensi dalam setiap pengambilan keputusan kenegaraan dan pemerintahan[1]. Padahal, apabila kita mengkaji asal-usul konstitusi, secara praktis konstitusi disusun dan diadopsi karena rakyat ingin membuat permulaan yang baru, sejauh berkaitan dengan sistem pemerintahan mereka[2]. Pada saat itu, Undang-Undang Dasar 1945 pada pokoknya benar-benar dijadikan alat saja untuk sesegera mungkin membentuk negara merdeka yang bernama Republik Indonesia. Atau dengan kata lain, Undang-Undang Dasar 1945 hanya ditempatkan sebagai alat kelengkapan suatu negara yang baru saja menyatakan kemerdekaanya, oleh karena itu Undang-Undang Dasar 1945 dikenal juga dengan Undang-Undang Dasar Proklamasi. Hal ini juga bisa terlihat dari pernyataan kemerdekaan Bangsa Indonesia sebagai hasil perjuangann politik di masa lampau yang termuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara 1945.
Seperti telah sebutkan di atas, Penulis mengemukakan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 sebenarnya memang dimaksudkan sebagai Undang-Undang sementara yang menurut istilah Ir. Soekarno, sebagai Ketua PPKI, merupakan ‘revolutie-grondwet’ atau Undang-Undang Dasar Kilat, yang memang harus diganti dengan yang baru apabila negara merdeka sudah berdiri dan keadaan sudah memungkinkan. Pernyataan “kesementaraan” ini juga dicantumkan pula dengan tegas dalam ketentuan asli Pasal I dan II Aturan Tambahan Undang-Undang Dasar 1945 sendiri yang berbunyi [3]:
(1) Dalam enam bulan sesudah ahirnya peperangan Asia Timur Raya, Presiden Indonesia mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar ini
(2) Dalam enam bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat dibentuk, Majelis itu bersidang untuk menetapkan undang-undang dasar.
Adanya ketentuan Pasal II Aturan Tambahan ini juga menegaskan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang bersifat tetap barulah akan ada setelah Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia menetapkannya secara resmi[4]. Akan tetapi, sampai Undang-Undang Dasar 1945 diubah pertama kali pada tahun 1999, Majelis Permusyawaratan Rakyat yang ada berdasarkan Undag-Undang Dasar 1945 belum pernah sekalipun menetapkan UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Prof. Dr. Harun Alrasid, S.H., sebagai seorang guru besar hukum tata negara yang dikenal sangat kritis, terus menerus menyampaikan pendapatnya bahwa Undang-Undang Dasar 1945 harus lebih dulu ditetapkan menurut ketentuan pasal 3 Undang-Undang Dasar 1945, barulah kemudian diubah sesuai ketentuan Pasal 37[5].
Prof. Dr. H. R. Sri Soemantri Martosoewignjo, S.H., dalam bukunya tersebut tidak mengemukakan prosedur untuk menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia sebelum diadakan perubahan. Untuk permasalahan ini, Penyusun memilih berpendapat untuk setuju dengan pendapat Prof. Dr. Harun Alrasid, S.H. dan pendapat di kalangan akademis yang menyatakan bahwa sebelum Undang-Undang Dasar 1945 dapat diadakan perubahan, terlebih dulu harus ditetapkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.

2. Undang-Undang 1945 Sebagai Konstitusi Yang Luwes
Setiap negara yang ada di dunia mempunyai konstitusi atau undang-undang dasar. Apabila semua konstitusi-konsitusi semua negara diperbandingkan satu dengan yang lain, dapat dilakukan penggolongan atau klasifikasi sesuai dengan kriteria yang ditetapkan. Ahli-ahli hukum tata negara dan atau hukum konstitusi berusaha mengadakan klasifikasi yang menurut anggapan mereka dapat dipertanggungjawabkan.
Salah satu metode pengklasifikasian konstitusi dimaksud adalah klasifikasi menurut metode yang dengannya konstitusi dapat diamandemen. Metode pengklasifikasian ini biasanya digambarkan sebagai pengklasifikasian ke dalam konstitusi yang fleksibel dan konstitusi yang kaku (rigid), sebuah pengklasifikasian yang berasal dari Lord Bryce dan dijelaskan dalam bukunya Studies in History of Jurisprudence. Ketika tidak ada proses khusus yang diperlukan untuk mengandemen Konstitusi, maka konstitusi itu disebut fleksibel, namun sebaliknya, apabila dalam mengandemen konstitusi diperlukan proses khusus maka konstitusi itu disebut kaku[6].
Berbeda dengan pendapat Penulis yang menggolongkan Undang-Undang Dasar 1945 dalam konstitusi yang rigid, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. mengemukakan bahwa secara teoritis dan normatif Undang-Undang Dasar Republik Indonesia dapat disebut sebagai konstitusi yang bersifat ‘fleksibel’ atau tidak ‘rigid’ [7]. Undang-Undang Dasar 1945 hanya memuat ketentuan yang bersifat umum, maka kosntitusi itu kadang-kadang disebut ‘soepel’ dalam arti lentur dalam penafsirannya. Makin ringkas susunan suatu Undang-Undang Dasar, maka makin ‘soepel’ dan ‘fleksibel’ penafsiran Undang-Undang Dasar itu sebagai hukum dasar.
Dalam kaitan ini, Penyusun sependapat dengan pendapat terakhir. Empat perubahan pertama Undang-Undang Dasar 1945, yaitu ada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002 yang dilaksanakan ‘tanpa’ proses khusus menambah keyakinan Penyusun bahwa Undang-Undang Dasar 1945 termasuk dalam klasifikasi konstitusi yang flexible atau tidak kaku (rigid).

3. Kelemahan Undang-Undang Dasar 1945
Terlepas dari persoalan apakah Undang-Undang Dasar 1945 masih bersifat sementara ataukah dianggap sebagai Undang-Undang Dasar tetap, Undang-Undang Dasar 1945 memiliki berbagai kelemahan yang melekat di dalamnya. Berbagai kelemahan itu menyebabkan kegagalan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai penjaga dasar pelaksanaan prisnsip demokrasi dan negara berdasar atas hukum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia [8]:
a. Struktur Undang-Undang Dasar 1945 menempatkan dan memberikan kekuasaan yang sangat besar terhadap Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif. Presiden tidak hanya sebagai pemegang dan menjalankan kekuasaan pemerintahan, tetapi juga menjalankan kekuasaan untuk membentuk undang-undang, disamping hak konstitusioal khusus (hak prerogratif)
b. Struktur Undang-Undang Dasar 1945 tidak cukup memuat sistem check and balances antar cabang-cabang pemerintahan (lembaga negara) untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan atau suatu tindak melampaui wewenang.
c. Terdapat berbagai ketentuan yang tidak jelas yang membuka peluang penafsiran yang bertentangan dengan prinsip negara berdasarkan konstitusi, misalnya tentang pemilihan kembali presiden, “kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR” yang dapat memandang Dewan Perwakilan Rakyat tidak melakukan kedaulatan rakyat, dan ketentuan lainnya.
d. Sruktur Undang-Undang Dasar 1945 banyak mengatur ketentuan organik (undang-undang organik) tanpa disertai arahan tertentu materi muatan yang harus dipedomani. Akibatnya, dapat terjadi perbedaan-perbedaan antara undang-undang organik yang serupa atau obyek yang sama, meskipun sama-sama dibuat atas dasar Undang-Undang Dasar 1945.
e. Tidak ada kelaziman Undang-Udang Dasar memiliki penjelasan yang resmi. Apalagi kemudian, baik secara hukum atau kenyataan, Penjelasan diperlakukan dan mempunyai kekuatan hukum seperti Batang Tubuh Undang-Undang Dasar. Padahal, Penjelasan Undang-Undang 1945 bukan hasil kerja badan yang menyusun dan menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 (BPUPKI dan PPKI), melainkan hasil kerja pribadi Supomo.

Disamping itu, dalam Undang-Undang Dasar 1945 juga dijumpai beberapa kekosongan : muatan tentang hak asasi manusia yang sangat terbatas, tidak ada ketentuan yang mengatur pembatasan kembali sebagai presiden, tidak ada aturan pembatasan waktu pengesahan RUU yang telah disetujuai DPR.
Sebagi akibat dari berbagai kelemahan tersebut, pengalaman praktis politik selama orde lama dan orde baru, Undang-Undang dasar 1945 telah menjadi instrumen politik yang ampuh untuk membenarkan berkembangnya otoritarianisme yang menyuburkan praktek-praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme.



4. Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sebelum Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, pada saat Penulis menyusun buku berkenaan, Majelis Permusyawaratan Rakyat mempunyai kedudukan sebagai lembaga tertinggi negara. Kepada lembaga inilah presiden, sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan bertunduk dan bertanggung jawab. Dalam lembaga ini pula kedaulatan rakyat Indonesia telah terjelma seluruhnya, dan lembaga ini pula yang dianggap sebagai pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat. Dari lembaga tertinggi MPR inilah, mandat kekuasaan kenegaraan dibagi-bagi kepada lembaga-lembaga tinggi negara lainnya sesuai prinsip pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal.
Sekarang, dalam Undang-Undang Dasar 1945 setelah Perubahan Kempat, Organ MPR juga tidak dapat lagi dipahami sebagai lembaga yang lebih tinggi kedudukannya daripada lembaga negara yang lain atau yang biasa dikenal dengan sebutan lembaga tertinggi negara[9]. Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga yang sederajad levelnya dengan lembaga-lembaga lain seperti DPR, DPD, Priseden/Wakil Presiden, Mahkamah Agung, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Bahkan dalam fungsinya, organ MPR dapat dikatakan bukanlah organ yang yang pekerjaannya bersifat rutin. Meskipun di atas kertas, MPR sebagai lembaga negara memang harus ada, tetap dalam arti yang aktual atau nyata, organ MPR itu sendiri sebenarnya baru dapat dikatakan ada pada saat kewenangan atau fungsinya sedang dilaksanakan. Kewenangan itu adalah mengubah dan menetapkan undang-undang dasar, memberhentikan priseden atau wakil presiden untuk mengisi lowongan jabatan presiden, dan melantik presiden dan/atau wakil presiden.
Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 ketentuan mengenai MPR dirumuskan bahwa “MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilu dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang”. Dengan demikian, MPR tidak dikatakan terdiri dari atas DPR dan DPD, melainkan terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD. Dengan demikian, MPR merupakan lembaga yang tidak terpisah dari institusi DPR dan DPD.[10]
Kewenangan MPR tersebut di atas tidak tercakup dan terkait dengan kewenangan DPR atau DPD, sehingga sidang MPR untuk mengambil menganai keempat hal tersebut sama sekali bukanlah sidang gabungan antara DPR dan DPD, melainkan sidang MPR sebagai lembaga tersendiri[11].

5. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945
Dari sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, dapat diketahui bahwa Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami perubahan sebanyak empat kali. Hal ini membuktikan bahwa bangsa dan negara Indonesia, pada akhirnya, dapat menerima gagasan yang disuarakan oleh Penulis bahwa perubahan Undang-Undang Dasar merupakan suatu keniscayaan.
Faktor utama yang menentukan pembaharuan Undang-Undang Dasar adalah berbagai (pembaharuan) keadaan di masyarakat[12]. Dorongan demokratisasi, pelaksanaan paham negara kesejahteraan, perubahan pola dan sistem ekonomi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat menjadi pendorong utama pembaharuan Undang-Undang dasar. Demikian pula peranan Undang-Undang Dasar itu sendiri juga sangat tergantung pada masyarakatnya. Hanya masyarakat yang berkehendak dan mempunyai tradisi menghormati dan menjunjung tinggi Undang-Undang Dasar (konstitusi pada umumnya), yang akan mennetukan Undang-Undang dasae tersebut akan dijalankan sebagaimana mestinya.

Pada dasarnya, perubahan konstitusi atau undang-undang dasar harus berlandaskan pada nilai-nilai paradigmatik yang timbul dari tuntutan perubahan itu sendiri[13]. Paradigma itu mencakup nilai-nilai dan prinsip-prinsip penting yang mendasar atau jiwa perubahan konstitusi. Kemana perubahan Undang-Undang Dasar mau dibawa, sangat tergantung pada paragdima yang dominan saat itu.
Pembaharuan Undang-Undang Dasar dimanapaun di dunia ini terutama tidak ditentukan oleh tata cara resmi (formal) yang harus dilalui. Pembaharuan Undang-Undang Dasar dapat terjadi dengan berbagai cara, selain dengan tata cara formal, pembaharuan UUD dapat terjadi melalui hukum adat, konvensi, putusan hakim-atau peraturan perundang-undangan biasa, seperti ketetapan MPR atau undang-undang[14]. Tata cara resmi Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diatur dalam Pasal 37.
Guru Besar Fakultas Hukum UII dan Hakim Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi Mahfud MD dalam acara yang membahas perubahan UUD 1945 di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa (15/4) menyampaikan bahwa jika ingin mengubah UUD 1945 secara komprehensif yang harus dilakukan adalah merubah pasal 37 UUD 1945. Menurut Mahfud dalam pasal 37 UUD 1945 ayat (1) dan (2) menentukan bahwa perubahan hanya dilakukan pada pasal-pasal yang dianggap perlu diubah dan tidak secara satu paket yang komprehensif[15].
Selanjutnya, perubahan pasal 37 UUD 1945 dimaksud diarahkan pada dua alternatif yakni : pertama, perubahan UUD ditetapkan oleh MPR tetapi naskahnya disiapkan oleh sebuah komisi negara yang khusus dibentuk untuk menyiapkan rancangan UUD. MPR tinggal melakukan pemungutan suara tanpa membahas lagi rancangan yang telah disiapkan oleh komisi negara tersebut. Komisi negara ini, harus terdiri dari negarawan atau tokoh-tokoh yang integritasnya dikenal luas serta tidak partisan. Komisi negara dapat dibentuk oleh MPR yang anggotanya dapat diusulkan oleh presiden, masyarakat, dan lembaga-lembaga lainnya
Kedua, perubahan UUD dapat dilakukan secara referendum atas rancangan perubahan yang disiapkan oleh komisi negara yang dibentuk oleh presidenm. MPR harus mengesahkan hasil referendum tanpa pemungutan suara lagi. Jika alternatif ini yang dipilih maka bersamaan dengan perubahan atas pasal 37 harus pula diubah ketentuan pasal 2 ayat (3) yang menentukan bahwa segala keputusan MPR ditetapkan berdasarkan suara yang terbanyak agar terbuka kemungkinan untuk MPR langsung menyetujui hasil referendum.

C. KESIMPULAN
Generasi yang hidup sekarang tidak dapat mengikat generasi yang akan datang. Demikianlah masalah dasar yang merupakan titik tolak Prof. Dr. H. R. Sri Soemantri Martosoewignjo, S.H. dalam melakukan penelitian dan pembahasan yang dituangkan dalam bukunya yang berjudul “Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi” Dengan alasan itulah, sebuah konstitusi atau undang-undang dasar sebaiknya mencantumkan kententuan untuk memungkinkan perubahan atasnya di kemudian hari.
Demikian pula dengan Undang-Udang Dasar Tahun 1945. Perubahan terhadap UUD 1945 dimungkinkan berdasarkan Pasal 37 UUD itu sendiri. Dalam suasana yang tidak memungkinkan melakukan perubahan terhadap UUD 1945, Penulis telah berani untuk melakukan penelitian tentang kemungkinan perubahan terhadap UUD 1945. Dan terbukti, dua puluh tahun kemudian, pendapat Penulis dipakai dalam melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Sejatinya, Undang-Undang Dasar 1945 merupakan undang-undang dasar yang oleh penyusunnya dimaksudkan sebagai Undang-Undang Dasar Sementara, dengan harapan setelah suasana kenegaraan memungkinkan dan Majelis Permusyawaratan Rakyat terbentuk, MPR segera menetapkan Undang-Undang yang definitif. Namun dalam perkembangannya, Undang-Undang dimaksud tidak pernah ditetapkan sampai dengan ditetapkannya Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar 1945 pada tahun 1999.
Seiring dengan semangat reformasi, wacana untuk memperbaharui Undang-Undang Dasar pun bergulir. Undang-Undang Dasar 1945 dipandang mengandung berbagai kelemahan, disamping terdapat kekosongan hukum di dalamnya yang telah menjadi instrumen politik yang ampuh untuk membenarkan berkembangnya otoritarianisme yang menyuburkan praktek-praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme. Akhirnya, sampai saat ini Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami perubahan sebanyak empat kali menuju ke arah ketatanegaraan yang lebih baik.
Perubahan yang dilakukan dengan jalan memberikan naskah tambahan menurut sistem amandemen seperti halnya yang berlaku di negara Amerika Serikat. Bentuk peraturan perundang-undangan yang digunakan adalah Perubahan Undang-Undang Dasar yang mempunyai kedudukan sederajat dengan Undang-Undang Dasar.
Berdasarkan Perubahan Keempat UUD 1945, usulan perubahan Pasal-Pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah MPR, dan putusannya dapat dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangya 50% ditambah satu dari seluruh anggota yang MPR dalam sidang yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR. Perubahan berdasarkan usulan dari anggota MPR ini bila dilihat ke belakang, sesuai dengan pendapat Penulis.
Pembatasan ini dimaksudkan agar Perubahan Undang-Undang dasar tidak dilakukan secara serampangan untuk kepentingan kelompok / golongan tertentu dan demi untuk menjaga kedudukannya sebagai hukum dasar.
Akhirnya, untuk lebih menjamin Perubahan Undang-Undang Dasar itu didasari oleh nilai-nilai paradigmatik kebangsaan dan kesejahteraan rakyat, perlu dibentuk sebuah komisi negara yang anggotanya terdiri dari negarawan atau tokoh-tokoh yang integritasnya dikenal luas serta tidak partisan untuk mempelajari dan mengupas secara mendalam setiap usulan Perubahan Undang-Undang Dasar disinergikan dengan mekanisme perubahan Undang-Undang secara formal oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.


Daftar Pustaka :
1. A. Mukthie Fadjar, Reformasi Konstitusi Dalam Masa Transisi Paradigmatik, In-trans, cetakan pertama, Malang, Agustus 2003
2. Bambang Widjojanto, dkk, Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi Independen, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2002.
3. Dahlan Thaib, Kedaulatan rakyat Negara Hukum dan Konstitusi, Liberty Yogyakarta, Cetakan Pertama, September 1999.
4. Jimli Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, diterbitkan atas kerjasama Mahkamah Konstitusi dengan Pusat Studi HTN FH Universitas Indonesia, Jakarta, 2004.
5. _____, Jimly Asshiddiqie, Bagir Manan, dkk, Gagasan Amandemen UUD 1945 dan Pemilihan Presiden Secara langsung, Setjen & Kepaniteraan MKRI, Jakarta, 2006.
6. ____, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Setjen dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta, 2006.
7. K.C Wheare, penerjemah Muhammad Hardani, Konstitusi-konstiusi modern, Cetakan Pertama Juni 2003, Pustaka Euraka, Surabaya
8. Moh Mahfud M.D, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, PT Rineka Cipta, Jakarta, Cetakan kedua, Juli 2000.
9. Ni’matul Huda, Lembaga Negara dalam masa Transisi Demokrasi, UII Press Yogyakarta, Februari 2007.
10. SoewotoMulyosudarmo, Pembaharuan Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi, In-trans, Malang, Cetakan Pertama, Pebruari 2004.
11. Kompas.com.

[1]Jimli Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, diterbitkan atas kerjasama Mahkamah Konstitusi dengan Pusat Studi HTN FH Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, Hlm. 34.
[2] K.C. Wheare, Konstitusi-Konstitusi Modern, Pustaka Euraka, Surabaya, 2003, Hlm. 9.

[3] Mukthie Fadjar, Reformasi Konstitusi Dalam Masa Transisi Paradigmatik, In-trans, Malang, 2003, Hlm. 139.
[4] Jimli Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Op. Cit, Hlm. 34.
[5] Ibid, Hlm. 35.
[6] K.C. Wheare, Konstitusi-Konstitusi Modern, Op. Cit, Hlm. 24
[7] Jimli Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Op. Cit, Hlm. 45.
[8] Jimly Asshiddiqie, Bagir Manan, dkk, Gagasan Amandemen UUD 1945 dan Pemilihan Presiden Secara langsung, Setjen & Kepaniteraan MKRI, Jakarta 2006, Hlm. 6-14.
[9] Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Setjen dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta, 2006, Hlm. 143.
[10] Ibid, Hlm. 145.
[11] Ibid, Hlm. 146.
[12] Jimly Asshiddiqie, Bagir Manan, dkk, Gagasan …, Op.Cit, Hlm. 15.
[13] Mukthie Fadjar, Reformasi Konstitusi Dalam Masa.., Op. Cit, Hlm. 64.
[14] Jimly Asshiddiqie, Bagir Manan, dkk, Gagasan …, Op.Cit, Hlm. 14-15.
[15] Kompas.com, Selasa, 15 April 2008, 17.53 WIB.

Senin, 04 Mei 2009

fungsi pengawasan dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih

Kondisi stabilitas Indonesia ahir-ahir ini sangatlah menghawatirkan, terutama setelah era reformasi telah digulirkan. Kekacauan terjadi disegala aspek kehidupan, mulai dari aspek politik, social, ekonomi, kultur-budaya, hukum dan lain sebagainya. Hal ini dapat kita ketahui dari beberapa fenomena-fenomena yang terjadi ditanah air yang tentunya tidak terlepas dari semakin melemahnya beberapa lapisan diatas.
Salah satu dari indikasi yang mempunyai kaitan erat dengan fenomena-fenomena diatas adalah semakin meningkatnya perilaku korupsi yang terjadi disegala bidang, lapisan lembaga-lembaga negara mulai dari tingkat pusat sampai tingkat daerah. Bahkan yang lebih parah lagi, tindakan tersebut dilakukan secara terbuka tanpa ada tekanan moral yang seharusnya menjadi prinsip utama mereka didalam menjalankan amanat rakyat. Fakta telah membuktikan terhadap indikasi ini, yaitu semakin banyaknya pejabat negara yang terjerat kasus korupsi mulai dari pejabat tingkat daerah sampai pejabat tigkat pusat.
Selain itu keadaan tersebut semakin diperparah dengan kondisi lembaga hukum yang juga mengalami kemerosotan yang sangat mengenaskan, dimana rasa dan nilai-nilai keadilan semakin jauh dari lembaga ini, hal ini kita ditandai dengan semakin merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga ini, yang ditandai dengan tindakan-tindakan eeigent rechting yang banyak terjadi ahir-ahir ini, seperti tindakan main hakim sendiri yang dilakukan masyarakat didalam merespon tindak melawan hukum, demiontrasi terjadi dimana-mana. Hal ini diakibatkan rasa frustasi masyarakat terhadap lembaga hukum dan lemahnya respon pemerintah yang tidak menjalankan fungsi dengan semestinya. Tidak sedikit kasus-kasus hukum yang terkesan mendapat perlindungan hukum khusus dengan tidak menyertakan alasan yang jelas, atau putusan hukum yang tidak sebanding dengan tindakan serta akibat dari tindakan melawan hukum tersebut. Selain itu juga adanya indikasi kebijakan pemerintah yang tidak menyeluruh serta rasa ketidak amanan yang dirasakan masyarakat juga tidak terlepas dari fenomena ini.
Oleh karena itu, untuk mencegah terhadap berlanjutnya fenomena-fenomena tersebut diatas dibutuhkan lembaga-lembaga baik yang independen atau non-independen yang dapat mengawasi serta dapat mengendalikan terhadap tindakan-tindakan lembaga-lembaga negara terutama terhadap para aparatur pemerintah disetiap departemen-departemen khususnya ketika dalam keadaan menjalankan fungsi-fungsinya. Dalam hal ini lembaga pers baik cetak maupun elektronik dapat berperan aktif didalam proses pengawasan terhadap kinerja lembaga negara atau apararatur pemerintah didalam menjalankan fungsi-fungsi tersebut.
Adapun fungsi pengawasan tersebut secara umum dapat mempunyai dua fungsi, yaitu fungsi prefentif dan fungsi represif. Yang dimaksud dengan fungsi prefentif adalah pengawasan yang dilakukan sebalum ada kejadian dalam arti lain tindakan ini bisa disebut dengan tindakan berjaga-jaga atau pencegahan. Sedangkan yang dimaksud dengan tindakan repreif, yaitu tindakan yang dilakukan setelah adanya kejadian dalam kata lain tindakan ini dapat disebu dengan tindakan
Pemerintah sebagai wujud dari kedaulatan rakyat mempunyai tugas untuk melaksanakan terhadap amanah yang telah embannya, namun bagaimanapun subjek pemerintah dalam hal ini aparatur pemerintah tidaklah mutlak untuk senantiasa melaksanakan fungsi-fungsi yang dimilikinya. Hal ini tidak terlepas dari berbagai kelemahan yang dimiliki oleh personal yang menjalankan.
Oleh karena itu perlu adanya suatu lembaga yang dapat mengawasi segala bentuk aktifitas yang dilakukan oleh pemerintah. Menurut Prof. Dr. Muchsan SH, dalam pengawasan tersebut meliputi dari perencanaan, pelaksanaakn serta hasil dari suatu program pemerintah[1]. Dimana yang menjadi objek dari pengawasan disini meliputi aparatur pemerintah, produk hukum yang dihasilkan, serta sarana yang digunakan oleh pemerintah dalam menjalankan fungsi-fungsinya.
Terkait dengan tahapan awal (tahap perencanaan) didalam pembuatan kebijakan Prof. Budi winarto merumuskan tiga tahapapan, yaitu:
Pertama, perumusan masalah( Defining problem). Untuk dapat merumuskan kebijakan dengan baik, maka masalah-masalah masyarakat harus dikenali dan didefinisikan dengan baik pula.
Kedua, agenda kebijakan. Yaitu bagaimana masalah tersebut mendapakan perhatian para pengambil kebijakan ditingkat pemerintah, dengan cara memenuhi persyaratan-persyaratannya.
Ketiga, pemilihan alternative kebijakan untuk memecahkan masalah. Biasanya dalam tahap ini para perumus suatu kebijakan akan dihadapkan pada pertarungan kepentingan antar berbagai actor yang terlibat dalam perumusan kebijakan.[2]
Keempat, tahap penetapan kebijakan, setelah melalui beberapa tahapan-tahapan diatas maka yag terahir dalam tingkatan ini adalah tahap penetapan kebijakan tersebut, supaya memiliki kekuatan hukum. Penetapan kebijakan public disini dapat berbentuk Undang-Undang, Yurisprudensi, Keputusan presiden, keputusan-keputusan menteri dan lain sebagainya.
Dalam proses perencanaan ini, lembaga yang mempunyai peran penuh (Full Power) didalam menjalankan pengawasan adalah Dwan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal ini tercantum dalam pasal 20 A UUD 1945 yang berbunyi; “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan” dan dipertegas dengan pasal 21 yang berbunyi: “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan rancangan undang-undang.”
Dalam kedua pasal tersebut disebut secara ekplisit terutama pasal 21, dengan demikian DPR mempunyai fungsi pengawawasan terhadap proses dari suatu rancangan perundang-undangan, sehingga meminimalisir tindakan-tindakan yang bersifat menyimpang.
Lembaga pemerintah mempunyai instrumen dasar didalam merumuskan program-program yang akan dilakukannya baik yang berupa jangka pendek atau jangka panjang, yaitu melaluli Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS), adapun yang berwenanga untuk menentukan komposisi lembaga ini adalah presiden bersama Lembaga Dewan Perwakilan Rakyat. Ditingkat daerah dikenal dengan Program Legislasi Daerah (PROLEGDA).
Kemudian dalam tahap pelaksanaan fungsi aparat pemerinrah. Disini yang berperan sebagai pengawas ada berbagai macam. Secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu; lembaga formal dan lembaga nonformal (Independen). Yang dimaksud dengan lembaga formal adalah lembaga di yang didasari oleh UUD atau UU.
Adapun lembaga-lembaga yang mempunyai peran dalam memaksimalkan fungsi pengawasan disini adalah:
1. Politica control
Menjalankan fungsi ini adalah lembaga-lembaga politik seperti lemabag Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan, Dewan Perwwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Badan Perwakilan Desa (BPD), Peradilan Tindak Pidan Korupsi (TIPIKOR).
2. Social Control
Disini yang berperan adalah mayarakat sendiri, seperti Opini yang disampaikan dalam kolom yang biasanya telah disediakan oleh media-media cetak seperti Koran, majalah. Atau dengan cara melakukan demontrasi.
3. Administrative control
Adapun yang melaksanakan fungsi control disini adalah lembaga itu sendiri baik secara formal semisal dengan peraturan yang dikeluarkan oleh deparemen terkait persoalan internal. Atau dengan cara melakukan tindakan positif seperti melakukan inspeksi mendadak terhadap aktivitas-aktivitas aparatur pemerintah.
System pengawasan ini dibagi menjadi dua. pertama system pengawasan besifat melekat. Pengawasan ini sendiri mempunyai dua istilah 1. System pengawasan melekat 2. System pengawasan dari atassan langsung. System pengawasan ini diatur dalam Inpres No. 15 tahun 1983.
Kedua, pengawasan yang bersifat fungsional. System pengawasan ini diatur dalam Inpres no. 15 tahun1983 tepatnya pasal 2 ayat (1)yag menyatakan bahwa pengawasan terdiri dari 1. Pengawasa yang diakukan oleh pimpinan/atasan langsung baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah 2. Pengawasan yag dilakukan secara fungsional oleh aparat pengawas.
4. Yuridical control
Yang dimaksud dengan kekuasaan kehakiman disini adalah kekuasaan untuk mengadili. Berdasaran UU No. 14 tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman, yang melaksanakan kekuasaan kehakiman adalah lembaga peradilan yang berpuncak Mahkamah Agung.
Secara teoritis untuk adanya suatu peradilan diperlukan adanya unsure-unsur sebagai berikut:
a. Adanya sengketa yang kingkrit.
Yang dimaksud dengan sengketa adalah perbedaan pendapat ataupun suatu kewajiban. Dikatakan kongkrit apabila sengketa tersebut penyelesaiannya telah diserahkan pada instansi ataupun lembaga yang berwajib.
b. Yang bersengketa sekurang-kurangnya ada dua pihak
Apabila mengenai masalah tertentu pada saat dan keadaan yang sama ada pendapat yang berlainan antara dua belah pihak, maka dikatakan ada perselisihan paham atau sengketa atau konflik. Jika yang dimasalahkan merupakan masalah hukum, terjadilah sengketa hukum. Sengketa hukum antara dua pihak inilah yang merupakan yang menjadi pnyebab imbulnya peradilan.
c. Adanya suatu aturan hukum yang abstrak yang dapat diterapkan terhadap sengketa tersebut.
Dalam setiap peradilan, baik peradilan sipil, pidana maupun administrative, selalu terdapat aturan abstrak yang mengikat umum yang dapat diterapkan. Aturan hukum tersebut dapat berupa aturan tertulis yang berbentuk undang-undang, tetapi juga dapat berupa aturan yang tidak tertulis yang diakui eksistensinya oleh undang-undang, seperti ketentuan hukum adat. Aturan hukum ini harus sudah ada pada saat akan diterapkan oleh petugas.
d. Adanya suatu aparatur peradilan yang mempunyai kewenangan untuk memutus sengketa hukum tersebut.
Yang dimaksud memberi keputusan adalah menetapkan suatu aturan hukum yang abstrak pada suatu sengketa kongkrit, yang bersifat mengikat bagi pihak-pihak yang bersangkutan, sehingga dengan demikian berahirlah perselisihan yang timbul, kecuali dalam hal-hal yang masih dimungkinkan untuk naik banding atau kasasi.[3]
5. Ombudsman
Pertama kali di Indonesia lembaga dibentuk berdasarkan kepada undang-undang nomer 44 tahun 2004 yang berisi tentang ombudsman. Lembaga ini juga bersifat independen, akan tetapi tidak mempunyai atau tidak diberi kewenangan secara hukum, dalam artian tidak memiliki akibat hukum. Sehingga apabila ada indikasi-indikasi penyimpangan didalamnya, maka tidak mempunyai atau tidak dapat dikenai sangsi.[4]

6. Independen control
lembaga disini adalah bukanlah lembaga negara, yaitu suatu organisasi yang didirikan personal tanpa adanya peran serta negara dalam perencanaan, pelaksanaan, serta control dari efektifitas lembaga ini. Biasanya lembaga ini mendapat dukungan atau support dari perorangan, perusahaan, lembaga-lembaga social baik dari dalam atau luar negeri.
Lembaga ini mempunyai independensi yang sangat tinggi, sehingga daya kontrolnya dapat dipastikan mempunyai kwalitas yang sangat tinggi. Biasanya lembaga ini berbentuk lembaga social seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM), di Indonesia yang terkenal ICW, PUKAT, dan lain sebagainya.

Kesimpulan
Pemerintah menjalankan amanat negara mempuyai tiga proses, pertama tahap perencanaan, kedua tahap pelaksanaan dan ketiga tahap evaluasi dan hasil. Untuk mencapai suatu keseimbangan antara beberapa tahap tersebut, perlu adanya lembaga-lembaga baik independen atau non-independen yang dapat mengontrol dalam setiap tahapan-tahapan tersebut, terutama sekali pada tahap pelaksanaan. Hal ini dikarenakan tahap ini merupakan pusat keberhasilan dari kedua tahap yang lain.
Adapun lembaga-lembaga yang dapat mengontrol atau yang dapat melaksanakan fungsi pengawasan adalah lembaga-lembaga berikut ini:
1. lembaga politik meliputi DPR, DPRD, DPD, BPD, BPK, TIPIKOR dan lain sebagainya.
2. Konrol masyarakat secara langsung (Social control)
3. Lembaga administrative itu sendiri
4. Lembaga peradilan (Yuridical control)
5. Lembaga Ombudsman
6. Lembaga Independen (independen control)
[1] Disampaikan dalam perkuliahaan dalam matakuliah Sistem Pengendalian Nasional di jurusan ketatanegaraan fakultas hukum Universitas Gajah Mada pada tanggal 06-03-2009
[2] Budi Winarno, kebijakan public teori dan proses, Media Pressindo Edisi Revisi 2008 hal 120-123
[3] Prof. Muchsan SH, system pengawasan terhadap perbuatan aparat pemerintah dan peradilan tata usaha negara di Indonesia,Liberti 2007 Hal36-50.
[4] Catatan kuliah Prof. Muchsan, pada mata kuliah Hukuk Tata pemerintah, yaitu pada pertemuan terahir pada tanggal 09-desember tahun 2008 di fakultas hukum Universitas Gajah Mada.